Apr 14, 2018

Menjaga Marwah, Memperkuat Kedaulatan Perbatasan



Menjaga Marwah, Memperkuat Kedaulatan Perbatasan


Tidak banyak orang yang tahu, kalau kedaulatan itu lahir dari pertarungan memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Pertarungan itu berupa perang selama 30 tahun (1618-1648) antara kaum Protestan dan kaum Katolik Roma berakhir di meja perundingan. Sekilas[1], perang ini adalah perang keyakinan. Namun, sesungguhnya perang di Eropa tersebut adalah perang tentang perebutan pengaruh dan kekuasaan. Lantaran itulah, perang ini melibatkan banyak negara. Sebutlah Swedia, Belanda, Jerman, Denmark, dan Italia. Perang yang menelan banyak korban tersebut diakhiri dengan perundingan damai Osnabruck dan Munster di Provinsi Westphalia, Jerman. Perjanjian damai ini dikenal dengan nama Perjanjian Westphalia.
Salah satu isi perjanjian Westphalia, yang jadi tonggak sejarah dan praktik hubungan dan hukum internasional, ialah adanya pengakuan kedaulatan negara tanpa campur tangan negara lain. Ini yang kita sebut SOVEREIGNTY OF STATE. Konsep kedaulatan negara inilah yang mengubah konstelasi politik global dan meneguhkan prinsip kesederajatan bangsa-bangsa yang ada di dunia ini.
Kedaulatan negara memiliki dua unsur utama: (1) pemegang kedaulatan (negara) secara mutlak memiliki otoritas dan (2) kedaulatan negara ditandai dengan adanya teritori, di mana otoritas mutlak itu dijalankan secara penuh. Kedua unsur ini acapkali dipostulatkan secara hukum dengan istilah supreme authority within a territory. Bagi filosof RP Wolff, otoritas adalah ”The right to command and correlatively the right to be obeyed.”
Masalah kedaulatan negara ini kelak jadi kajian Thomas Hobbes dan Jean Bodin. Mereka malah dengan tegas mengatakan, kedaulatan negara adalah absolut. Mereka berprinsip bahwa kedaulatan negara ”Extending all matters within the territory, unconditionally.” Jabaran dari perjanjian damai Westphalia mengenai kedaulatan negara ini diabadikan dalam Piagam PBB, khususnya dalam Pasal 2 (4), yang jelas menegaskan, semua anggota PBB (negara) dalam hubungan internasional mereka menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain atau dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB. Kedaulatan suatu negara terkandung di dalamnya adalah otoritas penuh menjalankan hukum yang dibuat oleh negara tersebut. Membuat dan menjalankan hukum dalam wilayah dan teritori negara adalah kebebasan mutlak negara tersebut dan tidak boleh dicampuri negara lain.

Perbatasan Salah Satu Sumber Konflik 

Hanya saja dalam dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi ancaman konstan bagi perdamaian serta keamanan internasional Ketidakjelasan batas teritorial, salah satunya, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antarnegara. Hal seperti itu sudah bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini mempunyai permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya. Apalagi kalau hal itu kita lihat dibelahan Asia, hamper semua Negara punya masalah perbatasan dengan Negara tetangganya. Sebut saja nama negarnya, misalnya China atu Tiongkok, Negara ini punya permasalahan batas dengan India, dengan Jepang, dengan Korea Selatan, dengan Malaysia, dengan Brunai, dengan Vietnam, dengan Filipina. Indonesia sendiri mempunyai masalah perbatasan dengan sepuluh (10) Negara tetangganya.
Dalam konteks Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 km dan memiliki wilayah perbatasan dengan 10 negara, perbatasan darat dengan Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Kepulauan Palau. Filipina, Papua New Guinea. Australia dan Timor Leste dari semua Negara tetangga itu belum satupun masalah perbatasannya yang sudah selesai. Dalam hokum internasional perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah negara, dimana mempunyai nilai penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam,  peningkatan keamanan dan keutuhan wilayah.
Untuk Indonesia letak geografisnya yang  strategis yang menghubungkan dua samudra Hindia dan samudra Pasifik serta dua benua Asia dan Australia mempunyai lokasi yang sangat khas dan jadi perlintasan kepentingan perdagangan Dunia. Indonesia berada di tengah-tengah kepentingan berbagai Negara yang ngeblok sesuai dengan kepentingan nasional negaranya, ada yang ikut Blok Amerika, Blok Rusia dan Blok Tiongkok, dan bisa jadi Blok Negara-negara persemakmuran Inggeris Raya, sementara Indonesia berada pada posisi non-blok. Fakta ini saja sebenarnya sudah mengharuskan bahwa Indonesia itu seharusnya adalah sebuah Negara ADI DAYA Negara yang kuat secara ekonomi, secara militer dan pertahanan serta secara Diplomasi. Nah dari sisi inilah munculnya ide penulisan Buku ini : Menjaga Marwah Perbatasan.
Dalam skala multilateral, perjuangan diplomasi perbatasan Indonesia sejak tahun 1958 berhasil mengukuhkan status Indonesia sebagai negara kepulauan secara internasional dalam prinsip hukum laut United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. Sebelumnya, batas laut wilayah laut Indonesia hanya 3 mil laut dari titik pulau terluar, hal ini sesuai dengan Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Namun, dengan diterimanya prinsip negara kepulauan maka laut-laut di tengah kepulauan Indonesia bukan lagi dianggap sebagai perairan internasional, melainkan sebagai laut pedalaman. Dengan demikian, keberhasilan mengukuhkan kesatuan wilayah daratan dan lautan NKRI di mata dunia adalah bagian dari diplomasi perbatasan.


Dilihat dari sisi perbatasan, Indonesia tergolong negeri yang unik. Daratan nya berupa tujuh belasan ribu pulau besar-kecil, sedangkan perairannya meliputi 60 persen total wilayah cakupan laut seluas ini hampir menyamai daratan Amerika. Memiliki kondisi geografis didominasi laut yang relatif dangkal, Indonesia sebagai negara kepulauan kerap juga dijuluki Benua Maritim-dipagari oleh tiga jenis batas wilayah laut, yaitu Batas Laut Teritorial, Landas Kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif. Indonesia memiliki 10 negara tetangga yang perairannya berbatasan langsung dengan wilayah Nusantara dan sampai kini belum ada satupun yang sudah selesai.
Sejauh ini baru batas maritim antara Indonesia dengan Australia yang telah lengkap disepakati. Meskipun hak nelayan tradisional di Pulau Pasir masih jadi ganjalan. Dari seluruh perbatasan Indonesia dengan negara tetangga, batas terpanjang memang dengan Malaysia. Baik perbatasan darat, begitu juga dengan batas lautnya.  Perundingan batas wilayah maritim Indonesia-Malaysia mencakup  semua batas wilayah laut yang belum disepakati yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Batas Laut Teritorial, dan Landas Kontinen. Saat ini sebagian besar Batas Laut Teritorial dan Landas Kontinen telah disepakati, baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Persetujuan Batas Laut Teritorial telah mencapai lebih dari 80 persen, yang belum disepakati masih tersisa 20 persen. Di bagian barat, batas ”yang belum jelas ” itu berada di selatan Selat Malaka, daerah antara Johor dan Pulau Bintan, serta perairan dekat Batu Puteh   di timur Singapura. Di perairan Kalimantan dan Laut Sulawesi batas yang belum disepakati ada di Tanjung Datuk dan Blok Ambalat.
Untuk jelasnya kita ada baiknya kita cantumkan disini batas laut yang telah disepakati dengan Negara tetangga, untuk perbatasan daratnya nanti kita turunkan secara lebih rinci : Perjanjian Batas Laut Yang Telah Disepakati ada sebanyak 16 (enam belas) perjanjian batas maritim yang telah diselesaikan dengan negara tetangga, yaitu : Persetujuan Garis Batas Landas Kontinen RI-Malaysia tahun 1969;  Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah RI-Malaysia tahun 1970 ; Persetujuan Garis Batas Dasar Laut Tertentu (Landas Kontinen) RI-Australia tahun 1971; Persetujuan Batas Landas Kontinen RI-Thailand tahun 1971; Persetujuan Batas Landas Kontinen, trilateral RI-Malaysia-Thailand tahun 1971; Persetujuan Batas-batas Laut Tertentu (Landas Kontinen) Tambahan Persetujuan 1971
RI-Australia tahun 1972 ;  Perjanjian Garis batas Laut Wilayah RI-Singapura tahun 1973 ; Perjanjian Garis-garis Batas Tertentu antara RI-PNG (Australia sebagai Protektor PNG) tahun 1973 ; Persetujuan Garis Batas Landas Kontinen RI-India tahun 1974; Persetujuan Garis Batas Dasar Laut RI-Thailand tahun 1975; Persetujuan Perpanjangan Batas Landas Kontinen tahun 1974 RI-India tahun 1977; Persetujuan Penetapan Titik pertemuan Tiga Garis Batas & Penetapan Garis Batas
Landas Kontinen, trilateral RI-Thailand-India tahun 1978; Persetujuan Batas-batas Maritim dan Kerjasama tentang Masalah-masalah yang bersangkutan RI-PNG tahun 1980; Persetujuan Garis Batas ZEE dan Dasar Laut Tertentu RI-Australia tahun 1997; Persetujuan Garis Batas Landas Kontinen RI-Vietnam tahun 2003; dan Persetujuan Garis Batas Laut Teritorial (Segmen Barat Selat Singapura) RI-Singapura tahun 2009.


Adapun Batas Baru yang disepakati itu adalah sebagai berikut:  Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Timur Selat Singapura yang ditandatangani tanggal 23 September 2014; Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Filipina mengenai Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif yang ditandatangani tanggal 23 Mei 2014; Batas negara dengan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) di Pulau Timor mengacu kepada perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Portugis pada tahun 1904 dan Permanent Court Award (PCA) 1914, Persetujuan Sementara antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah RDTL mengenai Perbatasan Darat pada tanggal 8 April 2005, serta Adendum Nomor 1 Persetujuan Sementara antara Indonesia dan Timor Leste pada tanggal 21 Juni 2013; Pergeseran posisi teks "Laut Natuna" ke arah selatan Kep. Natuna; Penambahan sumber data (dasar hukum); Perubahan beberapa toponim menyesuaikan dengan Permendagri No. 39 Tahun 2015; dan Penambahan teks "ALKI I, II, III" pada simbol ALKI dalam peta; (8) Perubahan judul inset peta perbatasan RI-Singapura-Malaysia; dan (8) Menambahkan keterangan beberapa titik dasar dalam peta (titik dasar paling luar).







[1] Hamid Awaluddin Mantan Duta Besar RI Di Rusia Dan Belarus (Sumber : Kompas, 26 Januari 2016)

Apr 3, 2018

Cara Mendirikan Dan Membangun BumDes




Cara Mendirikan Dan Membangun BumDes

BumDes sesuai dengan UU Desa diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian dan kuat secara ekonomi sebagaimana cita-cita pemerintahan. Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sekedar hanya menjadi sub-ordinat kabupaten. Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa. Desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa. Karena itu, warga Desa jelas akan berkeinginan agar Desa mereka bisa bangun, dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan warganya. Dari sisi inilah mengapa hadirnya BumDes di Desa merupakan sesuatu yang “harus”, merupakan tumpuan harapan untuk bisa meningkatkan kehidupan warga Desa.
Kementerian Desa PPDT mempunyai mandat untuk menjalankan NAWACITA Jokowi-JK, khususnya NAWACITA Ketiga yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa. Salah satu agenda besarnya adalah mengawal implementasi UU No 6/2014 tentang Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan. Pendampingan desa itu bukan hanya sekedar menjalankan amanat UU Desa, tetapi juga modalitas penting untuk mengawal perubahan desa untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif. Semua berharap desa inovatif semakin tumbuh berkembang dengan baik, serta dibantu oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal itulah yang membuat BumDes jadi sesuatu yang sangat bermakna.

BumDes sesuai dengan UU Desa diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagaimana cita-cita pemerintahan sekarang ini. Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sekedar hanya menjadi sub-ordinat kabupaten. Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa. Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa. Karena itu, warga Desa jelas akan berkeinginan agar Desa mereka bisa bangun, dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan warganya. Dari sisi inilah mengapa hadirnya BumDes di Desa merupakan sesuatu yang “harus”, merupakan tumpuan harapan untuk bisa meningkatkan kehidupan warga Desa.

Kehadiran Kementerian Desa PPDT mempunyai mandat untuk menjalankan NAWACITA Jokowi-JK, khususnya NAWACITA Ketiga yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa.” Salah satu agenda besarnya adalah mengawal implementasi UU No 6/2014 tentang Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan. Pendampingan desa itu bukan hanya sekedar menjalankan amanat UU Desa, tetapi juga modalitas penting untuk mengawal perubahan desa untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif. Semua berharap desa inovatif semakin tumbuh berkembang dengan baik, antara lain karena pendampingan, baik yang dilakukan oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal itulah yang membuat BumDes jadi sesuatu yang sangat bermakna.



Mendirikan dan Membangun BumDes

Karena itulah saya menuliskan Buku “Mendirikan & Membangun BumDes Sesuai UU Desa”, yang dimulai dengan pendirian BumDes yang sesuai dengan Dasar hukum BUMDes yang dimulai sejak dari awal, dengan Proses Pendirian  Tahapan pembentukan BUM Desa sebagai berikut:
Langkah 1: Identifikasi Potensi Tujuan untuk menelusuri potensi yang dimiliki desa dan potensial untuk dikembangkan.
 Langkah 2: Sosialisasi Pembentukan BUM Desa dengan tujuan dari sosialisasi pembentukan BUM Desa adalah untuk menyamakan persepsi tentang potensi yang dimiliki desa dan tujuan pembentukan BUM Desa.
Langkah 3: Perumusan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) BUM Desa
Langkah 4: Musyawarah Pembentukan Pengelola BUM Desa.
Langkah 5: Penyusunan Peraturan Desa
Langkah 6 : Penyusunan Rencana Kerja Pengelola BUM Desa, yang meliputi :
Menyusun Job Deskripsi (Gambaran Pekerjaan)
Menetapkan Sistem Koordinasi
Menyusun Desain Sistem Informasi
Menyusun Rencana Usaha (Business Plan)
Menyusun Sistem Administrasi dan Pembukuan
Mengurus Legalitas Hukum Unit Usaha BUM Desa.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, dijelaskan bahwa dalam hal kegiatan usaha BUM Desa dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terbitnya UU No. 6 Tahun. 2014 tentang Desa, yang selanjutnya disebut dengan UU Desa, yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Wajah baru desa menjadi harapan mengiringi UU Desa dengan posisi, peran dan kewenangan desa yang baru. Karena pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, kewenangan desa hanya bersifat target, dan dengan UU Desa ini kewenangan desa bersifat mandat. Kedudukan desa menjadi pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government, bukan sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government). Desa mempunyai posisi dan peran yang lebih berdaulat, posisi dan peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. Model pembangunan yang dulunya bersistem Government driven development atau community driven development, sekarang bersistem Village driven development.
Dengan dua azas utama “rekognisi” dan “subdidiaritas” UU Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan azas “desentralisasi” dan “residualitas”. Dengan mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana Desa.
Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas UU Desa menghasilkan definisi desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya. Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Desa tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, melainkan pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya, masyarakat juga mempunyai kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa.  Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi : kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.

Kewenangan lokal berskala desa haruslah kewenangan yang muncul dari prakarsa masyarakat sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kondisi lokal desa. Hal itu supaya kewenangan tersebut sejalan dengan kepentingan masyarakat sehingga akan bisa diterima dan dijalankan. Hanya saja, kewenangan yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara langsung ini mempunyai cakupan yang relatif kecil dalam lingkup desa. Apalagi kewenagan yang berkaitan sangat dekat dengan kebutuhan hidup sehari-hari warga desa kurang mempunyai dampak keluar (eksternalitas) dan kebijakan makro yang luas.
Pelaksanaan kewenangan lokal tersebut berkonsekuensi terhadap masuknya program-program pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 UU Desa menegaskan, bahwa kewenangan lokal bukanlah kewenangan pemerintah supra-desa (termasuk kementerian sektoral) melainkan menjadi kewenangan desa. karena selama ini hampir setiap kementerian sektoral memiliki proyek masuk desa yang membawa perencanaan, birokrasi, pendekatan, bantuan dan membangun kelembagaan lokal di ranah desa. Ada desa mandiri energi (ESDM), pengembangan usaha agribisnis perdesaan (pertanian), desa siaga (kesehatan) dan yang lainnya. Dengan UU Desa ini, semua program tersebut  adalah kewenangan lokal berskala desa yang dimandatkan oleh UU Desa untuk diatur dan diurus oleh desa.
Dengan dimikian, pendirian BumDes ini diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagaimana cita-cita pemerintahan sekarang ini. Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sub-ordinat kabupaten. Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa. Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa.