BUMDesa Membangun wirausaha
Sosial Desa
Oleh Bambang
Ismawan
Empat tahun sudah Dana
Desa mengucur ke desa- desa di seluruh Indonesia. Pada 2018 tercatat 74.957
desa menerima kucuran Dana Desa (DD). Pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa
yang disertai kucuran DD membangkitkan kembali gairah pembangunan di perdesaan.
Oleh karena itu, UU No 6/2014 sejatinya UU Revitalisasi Desa dan Dana Desa
sejatinya Dana Revitalisasi Desa.
Semangat pembangunan
perdesaan pernah menggebu pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hingga Indonesia
mencapai swasembada/surplus beras pada 1984 dan meraih penghargaan dari
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Namun, ketika kebijakan pembangunan
nasional bergeser ke sektor industri pada akhir 1980-an, berlangsunglah
fenomena ”devitalisasi” atau ”marjinalisasi” desa.
Fenomena ini bertambah
parah akibat pelaksanaan perjanjian RI-Dana Moneter Internasional tahun
1998-2003, yang antara lain memangkas peran Bulog sebagai stabilisator pangan
nasional dan defungsionalisasi koperasi unit desa (KUD), ditambah dicabutnya
subsidi pupuk, serta impor bahan pangan secara masif. Akibatnya, desa-desa
basis pangan nasional pun terpuruk ke titik nadir. Banyak warga desa, khususnya
keluarga petani, yang eksodus ke kota sebagai pekerja informal, bahkan ke luar
negeri sebagai tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita.
Sejak DD diluncurkan
tahun 2015, desa seolah berlomba membangun sarana dan prasarana desa, termasuk
jaringan jalan desa dan irigasi. Sayangnya, momen ini datang ketika lahan
pertanian rakyat, khususnya tanaman pangan, terus menyusut terancam konversi,
termasuk oleh ekspansi pertanian komersial. Nyaris tak ada ruang ekspansi untuk
lahan tanaman pangan rakyat, terutama di Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan
Nusa Tenggara Barat.
Skenarionya tentu
sangat berlainan, antara menginjeksi desa dengan pembangunan infrastruktur
berskala masif pada saat rerata skala usaha tani masih di atas satu hektar
dengan ketika para petani hanya berlahan 2.000 meter persegi bahkan kurang.
Dalam kondisi seperti ini, tambahan investasi infrastruktur tak lagi sebanding
dengan tambahan output bahan pangan dan tak lagi sebanding dengan peningkatan
pendapatan petani dari aktivitas pertaniannya.
Maka, yang justru
lebih diharapkan adalah berkembangnya kegiatan ekonomi non-usaha tani perdesaan
dalam rangka diversifikasi ekonomi desa dan diversifikasi pendapatan masyarakat
desa. Di sinilah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dapat berperan strategis.
UU No 6/2014
mengamanatkan BUMDes untuk mengelola SDA (ekowisata, agrowisata, industri
berbasis SDA lokal, dan industri kreatif) dan layanan umum (sistem penyediaan
air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan pasar, dan lainnya) pada level
desa. Selanjutnya, hasil usaha BUMDes akan digunakan untuk pengembangan usaha
BUMDes, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, lewat mekanisme
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Artinya, UU memang
menghendaki BUMDes tampil menjadi institusi wirausaha sosial di tingkat desa.
Institusi wirausaha sosial melakukan pendekatan bisnis dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pembangunan sosial berkelanjutan, yang meliputi pengentasan
rakyat miskin, penyediaan lapangan kerja produktif, peningkatan integrasi
sosial, dan perbaikan lingkungan hidup perdesaan.
Sukses sebelum DD
Beberapa BUMDes
terbaik tingkat nasional 2018 didirikan jauh sebelum adanya DD. Sebut saja
BUMDesa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten, yang pada 2018 omzetnya lebih dari
Rp 14 miliar, berdiri 2009. Awalnya BUMDes ini hanya bermodalkan Rp 100 juta
dari hibah pemerintah desa (pemdes) setempat tahun 2009. Berikutnya, BUMDesa
Sukamanah, Megamendung, Kabupaten Bogor, berdiri 2010, pada 2018 mengelola
pasar desa dengan 170 kios. Modal awal BUMDes ini dari hibah Pemprov Jawa Barat
sebesar Rp 750 juta.
Ini berarti sebelum
adanya DD, sudah ada BUMDes yang sukses berkat bantuan modal dari pemdes atau
pemerintah di atasnya. Maka, sesudah DD, seharusnya lebih banyak lagi BUMDes
yang sukses, minimal berkat fasilitasi dari pemdes sendiri. Apalagi sejak 2015
dibentuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pasal 90 UU No 6/2014
menyebutkan, pemerintah di semua tingkatan, termasuk (dan terlebih) pemdes
perlu mendorong pengembangan BUMDes melalui hibah dan/atau akses permodalan,
serta akses pasar. Kepala desa selaku pengawas BUMDes memiliki peran sangat
menentukan dalam mengembangkan usaha BUMDes.
Faktanya, hingga akhir
2018 belum ”terdengar” BUMDes yang didirikan pasca-DD (tahun 2015 dan
sesudahnya) mampu mendulang sukses
dengan memberikan kontribusi secara signifikan terhadap APBDes, katakanlah
minimal 25 persen dari APBDes, yang dialokasikan baik untuk pembangunan
infrastruktur desa maupun pembangunan sosial. Lambannya perkembangan jumlah
BUMDes sukses yang berdiri pasca-DD menunjukkan bahwa fasilitasi oleh pemdes,
terutama kades, secara umum jauh dari memadai. Bahkan pada beberapa kasus di
lapangan ditemukan (mis)persepsi bahwa kehadiran BUMDes hanya ”mengganggu”
pemdes.
Padahal, cukup banyak
peluang bisnis yang dapat dimanfaatkan BUMDes, apalagi jika didukung captive
market dari pemdes. Contoh paling sederhana, meningkatnya permintaan
bahan-bahan bangunan seperti pasir, batu pecah, semen, besi beton, dan kayu,
terkait maraknya pembangunan sarana prasarana desa dapat menjadi satu peluang
bisnis BUMDes. Selain itu, penyewaan peralatan/mesin konstruksi ringan, seperti
molen dan handstamper. Tim Pengelola Kegiatan DD cukup memesan kebutuhan proyek
melalui BUMDes. Kenyataannya, justru toko bahan bangunan milik para pemodal
bertumbuh di dalam dan di sekitar daerah perdesaan.
Yang lebih diharapkan
tentunya adalah bahwa BUMDes mampu mengolah produk-produk unggulan desanya
sendiri, di samping menyelenggarakan fungsi layanan umum. Jika berkembang dan
dikembangkan sesuai amanat UU, BUMDes akan memberikan dampak peningkatan
kesejahteraan warga desa secara lebih berkelanjutan, sementara proyek-proyek
padat karya tunai hanya mampu memberikan peningkatan pendapatan yang sifatnya
sangat temporer dan lapangan kerja sangat terbatas, relatif terhadap jumlah
warga marjinal yang sedemikian banyak.
Oleh karena itu,
”menggeber” pengembangan BUMDes lewat pendekatan kewirausahaan sosial menjadi
solusi tepat untuk mengatasi masalah sosial ekonomi desa dengan memanfaatkan
momentum DD. Sayang seribu sayang, jika momentum ini berlalu begitu saja.
Sebab, BUMDes-lah yang akan menopang kemandirian desa apabila suatu saat DD tak
ada lagi.
Bambang Ismawan
Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya
Sumber : BUMDesa
Berwirausaha Sosial Oleh Bambang Ismawan
Kompas.id, 24
Januari 2019