Melihat Penetapan Dan Penegasan Perbatasan
Negara Serumpun,
Perbatasan Mestinya Justeru Pemersatu
oleh harmen batubara
Hubungan
Indonesia-Malaysia atau Hubungan Indonesia-Timor Leste atau Indonesia-Papua
Newguinae mestinya harus jadi special atau khusus, karena memang negara ini
adalah negara serumpun. Tidak perlu dicari perbedaannya, tetapi pada semangat
penguatan ekonominya. Kawasan yang sejahtera, pastilah melahirkan rasa aman
yang menyenangkan pula. Saya lalu ingat tulisan Asvi Warman Adam[1] pada 13
Oktober 2009 (Kompas)- Klaim seni-budaya dan teritorial selain masalah TKI
menjadikan hubungan Indonesia-Malaysia memanas dari waktu ke waktu. Saat
tertentu masalah ini mereda atau diimpit isu lain, tetapi muncul lagi pada saat
lain.
Saat kasus blok
Ambalat mencuat, sekelompok pemuda di Jawa Tengah mendaftarkan diri untuk
diterjunkan di sana. Mereka mengira, Ambalat adalah pulau seperti Ligitan dan
Sipadan. Padahal, terjun ke Ambalat berarti terjun ke laut. Berperang dengan
Malaysia diserukan seorang tokoh masyarakat di layar televisi. Jika kita
bertempur dengan Malaysia, kalah atau menang tetap rugi. Kalau kalah, jelas
malu karena Malaysia lebih kecil daripada kita. Kalau menang, bukan prestasi.
Mengapa kita tidak
berpikir sebaliknya, menggabungkan atau mengintegrasikan Malaysia dengan
Indonesia; tentu saja tidak dengan invasi atau aneksasi, tetapi secara damai.
Gagasan tentang Indonesia Raya yang mencakup bekas Hindia Belanda plus
Semenanjung Melayu bukanlah hal baru karena ini sudah digagas seusai Perang
Dunia II oleh Ibrahim Haji Yaacob yang kemudian dikenal di Indonesia dengan
nama Iskandar Kamel. Ibrahim Haji Yaacob adalah seorang Melayu keturunan Bugis.
Ia lahir 27 November 1911 di Kampung Tanjung Kertau, Temerloh, Pahang.
Leluhurnya telah merantau ke Pahang awal abad ke-20. Saat bersekolah di Maktab Perguruan
Sultan Idris tahun 1928-1931 di Tanjong Malim, Perak, guru-gurunya mengajarkan
gerakan nasionalisme India, Mesir, Indonesia, dan Jepang. Ibrahim Yaacob
membaca surat kabar yang datang dari Indonesia, seperti Persatuan Indonesia dan
Fikiran Rakyat.
Tahun 1939 Ibrahim
Yaacob dengan beberapa rekannya mendirikan Kesatuan Melayu Muda (KMM). Tahun
1940, pada usia 29 tahun Ibrahim menjelma sebagai nasionalis radikal yang
mengagumi Soekarno. Pada 1941, dengan bantuan uang dari Konsul Jenderal Jepang
di Singapura, Ibrahim membeli koran Melayu di Singapura Warta Malaya. Ketika
meletus Perang Pasifik 7 Desember 1941, Ibrahim bersama 110 anggota KMM
ditangkap Inggris. Namun, saat tentara Jepang mendarat di pantai timur
Semenanjung Melayu, pemuda- pemuda dari KMM menjadi pandu penunjuk jalan dan
juru bahasa bagi tentara Jepang. Jepang membentuk tentara Pembela Tanah Air
(PETA) di Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera dan Malaya dibentuk Giyugun.
Ibrahim mendapat latihan enam bulan dan Juni 1944 dilantik sebagai Komandan
Giyugun dengan pangkat letnan kolonel.blogging
Peristiwa Taiping 1945
Tahun 1945, Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membicarakan tapal
batas negara, apakah bekas Hindia Belanda, atau Hindia Belanda ditambah Malaya,
Niauw Guinea, Borneo Utara, dan Timor Portugal. Ataukah bekas Hindia Belanda
minus Niauw Guinea. Muhammad Yamin menganjurkan alternatif kedua, yakni
Indonesia Raya. Soekarno setuju dan pada pemungutan suara 39 dari 62 anggota
Badan itu memilih Indonesia Raya. Namun, dalam UUD 1945 yang disahkan 18
Agustus 1945, wilayah Indonesia tidak dinyatakan eksplisit.
Pada 8 Agustus 1945,
delegasi Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke
Vietnam menemui Marsekal Terauchi. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia,
delegasi itu mampir di Taiping Perak. Di sana mereka bertemu Ibrahim Yaacob,
yang memberitahukan kepada Soekarno dan Hatta bahwa orang-orang Melayu ingin
mencapai kemerdekaan bagi Malaya dalam kerangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan
agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus.
Soekarno yang duduk di
samping Hatta terharu oleh semangat Ibrahim Yaacob. Dijabatnya tangan Ibrahim,
lalu berujar, ”Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan
Indonesia.” Ibrahim menjawab, ”Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu
negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang
Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.”
Semua itu tidak pernah
menjadi kenyataan. Jepang menyerah 15 Agustus 1945. PETA dan Giyugun dibubarkan
Jepang. Cita-cita Indonesia Raya kandas. Tanggal 19 Agustus dengan pesawat
Jepang, Ibrahim ke Jakarta bersama istrinya, Mariatun Haji Siraj, ipar Onan
Haji Siraj, dan Hassan Hanan. Karena situasi di Semenanjung Melayu tidak aman,
Soekarno menyarankan agar Ibrahim dan rekannya bergabung dalam perjuangan di
Pulau Jawa untuk mencapai cita-cita Indonesia Raya.
Bulan November 1955,
kurang lebih dua tahun sebelum Malaya merdeka, Tengku Abdul Rachman mengunjungi
Jakarta atas undangan Presiden Soekarno. Secara informal Ibrahim Yaacob sempat
dipertemukan dengan Tengku, tetapi pendirian mereka berlawanan. Tengku
menginginkan Malaya merdeka dalam Commonwealth Inggris, sementara Ibrahim
Yaacob menghendaki Malaya merdeka, bergabung di bawah Indonesia Raya. Tahun
1973 di bawah PM Tunku Abdul Razak, Ibrahim Yaacob dibolehkan berkunjung ke
Malaysia.
Pada masa demokrasi
terpimpin, Soekarno menunjuk Ibrahim Yaacob sebagai anggota MPRS mewakili Riau.
Saat Soekarno jatuh pasca-Gerakan 30 September 1965, Ibrahim melepaskan diri
dari kegiatan politik dan berkiprah dalam bidang swasta. Saat meninggal di Jakarta
8 Maret 1979, ia tercatat sebagai Direktur Utama Bank Pertiwi. Ibrahim Yaacob
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Integrasi kiranya lebih
positif ketimbang konfrontasi meski bentuk/tingkat dan prosesnya perlu
didiskusikan lebih lanjut.
Indonesia Masa Depan
Malaysia
Saya kemudian ingat
apa yang disampaikan kolumnis asal Malaysia, Karim Raslan, menyatakan bahwa
pelaku bisnis dan politisi di negaranya mulai menyadari bahwa Indonesia adalah
masa depan Malaysia. Oleh karena itu, mereka mulai mengubah pandangannya
terhadap Indonesia.
Hal itu disampaikan
Karim Raslan dalam diskusi bukunya berjudul Ceritalah Indonesia, Jumat
(15/10/2010) malam di Yayasan Umar Kayam, Yogyakarta. Dalam diskusi, para
peserta lebih banyak menanyakan pandangan Karim Raslan dan masyarakat Malaysia
pada umumnya terhadap Indonesia. ”Banyak orang bisnis sadar bahwa negara yang
punya potensi adalah negara besar. Makanya mereka merasa harus melihat
Indonesia,” katanya.
Selain kalangan
bisnis, kata dia, politisi di Malaysia juga menganggap penting hubungan dengan
Indonesia. Ia berpendapat Indonesia adalah pentas penting bagi para politisi
Malaysia. Hal itu bisa dilihat dari seringnya tokoh oposisi Malaysia, Anwar
Ibrahim, berkunjung ke Indonesia. ”Kedekatan hubungan Anwar dengan tokoh
penting di Indonesia membuat dia mengalahkan politisi lain,” katanya.
Buku yang didiskusikan
ini berisi esai-esai Karim yang telah diterbitkan di sejumlah media, baik media
di Indonesia maupun di luar Indonesia. Pengajar Jurusan Sejarah Universitas
Gadjah Mada, Budiawan, yang menjadi pembahas buku, menyatakan, Karim adalah
sosok warga negara diaspora. Ia bisa menulis esai yang kritis tentang negerinya
sendiri.
Sumber : www.wilayahperbatasan.com,
January 1, 2014 /ARA/Kompas-18 Oktober
2010.
[1] Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
No comments:
Post a Comment