Wilayah Perbatasan,
Menghadirkan Indonesia di Perbatasan
Oleh Harmen Batubara
Terus terang bagaimana
negara kita membangun wilayah perbatasan hemat saya yang terasa hanyalah hiruk
pikuknya. Kenapa saya katakan begitu? Bayangkan ada sebanyak 25
Kementerian/Lembaga yang terlibat dan dapat dana untuk melakukan pembangunan di
perbatasan. Malah kini adalagi BNPP. Badan ini sesuai fungsinya mempunyai 4
tugas pokok yaitu : Menetapkan kebijakan
program pembangunan; menetapan rencana kebutuhan anggaran;
mengkoordinasikan pelaksanaan;
serta melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Tetapi adakah perubahan itu? Ya
memang tentunya perubahan itu tidaklah sekedar membalikkan telapak tangan. Saya
setuju itu tapi adakah aroma perubahan itu?
Terus terang yang kita
rasakan adalah masih banyaknya program yang tidak nyambung, pola pembangunan
yang sama dan merata, dan juga aroma penyalah gunaan dana-dana yang ada malah
lebih gila dari sebelumnya. Lalu saya ingat bagaimana pada zaman Orde baru
dahulu membangun wilayah perbatasan. Yang menonjol adalah Papan-papan nama
Instansinya yang lengkap dan ada secara mencolok di desa-desa perbatasan.
Tetapi terus terang ya hanya papan nama itu, sementara petugasnya tetap di
kabupaten atau di provinsi, mereka dapat gaji seperti biasa tetapi tanpa
melaksanakan tugasnya di wilayah perbatasan.
Setelah reformasi ada
memang perubahan secara drastis-pemerintah membangun hampir semua gedung-gedung
yang memang semestinya di bangun, tetapi sekali lagi hanya gedung-gedungnya
saja.Sementara Isinya, personilnya kosong semata. Cobalah misalnya ke Seluas,
lihat gedung yang dibangun oleh Kemhan di sana megahnya bukan main-tapi sama
sekali tidak ada pengawaknya-kini gedung yang megah itu sudah hampir 6 tahun,
dan sebentar lagi akan muspro. Begitu juga dengan gedung gedung sekolah-ya
sudah dibangun dalam julam yang banyak tapi tanpa guru dan tanpa buku.
Wilayah Perbatasan Di
Mata LIPI
Pada tahun 2013 BNPP
telah mengajak LIPI untuk meneliti rasa keindonesiaan diwilayah perbatasan.
Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP), Tim penelitian ini dipimpin Forman Noor
dkk. Adapun lokasi penelitiannya berada
di wilayah Kabupaten Malinau (Kecamatan
Kayan Hulu, Desa Long Nawang), kemudian Kabupaten Nunukan (Kecamatan Krayan,
Desa long Bawan), dan Kota Tarakan.
Pendekatan yang
digunakan dalam menakar kebangsaan dalam kajian ini, mengacu pandangan ERNEST RENAN dengan bukunya What is Nation?
(1990), yang menjelaskan bahwa nasion merupakan kesadaran
untuk bersatu tanpa paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah
kepentingan kolektif yang dianggap luhur. Makna kebangsaan tidak dipahami dalam
wujud kesamaan budaya dan identitas, tetapi lebih kepada kesamaan melihat masa
depan dan cita-cita membentuk sebuah bangsa yang jauh dari keterpaksaan setiap
anggota yang ada di dalamnya.
Tim LIPI sendiri dalam kajiannya menyebutkan
bahwa, nasionalisme adalah kemauan
untuk rela bersatu atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta
kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara
lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai
persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai
ketuhanan dan persatuan. Dalam pengertian di atas, tim dengan tegas menekankan
bahwa keindonesiaan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai persamaan,
keadilan, dan demokrasi serta tetap mengikutsertakan nilai-nilai ketuhanan dan
persatuan.
Ekspresi, Persepsi dan
Wawasan Kebangsaan
Lalu seperti apakah
nilai-nilai keindonesiaan yang masih hadir di masa sekarang dalam keseharian
masyarakat Indonesia? Terutama dalam lingkungan masyarakat perbatasan? Tim LIPI yakin, di tengah-tengah
ketidakadilan dan kehidupan yang jauh dari kemakmuran sebagaimana yang
dicita-citakan oleh founding fathers; maka menakar rasa keindonesiaan masyarakat
perbatasan tentulah tidak mudah namun juga bukan hal yang mustahil untuk
dilakukan.
Bebeberapa aspek
penting yang dicermati Tim LIPI, yaitu, ekspresi, persepsi dan wawasan
kebangsaan masyarakat setempat, kemudian bagaimana persepsi dan eskpresi
ke-Indonesia-an itu hadir dalam keseharian. Lalu seperti apa upaya-upaya yang
telah dan tengah berlangsung dalam menumbuhkan dan memelihara nilai
keindonesiaan tersebut.
Ekspresi kebangsaan
masih ditemukan di dua lokasi penelitian meski terasa lebih kental pada lapisan
permukaan. Untuk pengetahuan mengenai lambang-lambang negara yang sifatnya
lebih permanen, seperti BENDERA, LAGU KEBANGSAAN, HARI KEMERDEKAAN, PAHLAWAN
NASIONAL, pengetahuan masyarakat cukup memadai. Namun lambang negara yang lebih
bersifat periodik keberadaannya, seperti KEPALA NEGARA, KEPALA PEMERINTAHAN
DAERAH dan lainnya malah tidak dikenal dengan cukup baik.
Tim LIPI
mencermati di desa Long Bawan, bagaimana
anak-anak usia sekolah mengalami kebingungan ketika ditanyakan siapa nama
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia saat ini – sebuah pengetahuan
yang harusnya lazim diketahui oleh bangsa ini. Padahal lambang negara berupa
bendera merah putih juga banyak ditemukan di setiap bangunan. Tidak hanya di
bangunan-bangunan milik pemerintah, melainkan juga pada milik adat dan milik
perorangan warga. Merah putih selalu mendapatkan tempat khusus dan terhormat
dalam keseharian masyarakat Long Nawang dan Long Bawan. Tidak hanya dalam
acara-acara yang berhubungan dengan pemerintahan, namun acara adat sekalipun
mereka selalu menempatkan merah putih sebagai bagian dalam semua bentuk
kegiatannya.
Keberadaan desa mereka
yang merupakan bagian rumah besar Indonesia juga amat disadari oleh
masyarakatnya. Indonesia adalah tempat mereka bernaung hingga akhir hayatnya,
dalam hal ini terbersit makna tidak adanya keinginan untuk “pindah rumah” di
dalam hati warga perbatasan. Hampir semua mengetahui bahwa mereka adalah bagian
dari Indonesia dan Pulau Kalimantan. Namun, sayangnya, untuk anak-anak usia
sekolah sekalipun pengetahuan keberadaan ini tidak diiringi pengetahuan yang
baik dalam pemahaman geografisnya. Hal ini terbukti ketika mereka diminta
menunjukkan pulau Kalimantan dalam peta Indonesia, mereka justru kebingungan.
Hal lain yang
memperlihatkan bahwa nuansa keindonesiaan itu masih ada adalah semangat yang
tinggi dari masyarakat untuk merayakan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus, setiap
tahunnya. Kemeriahan perayaannya
melebihi kemeriahan perayaan hari besar agama mayoritas yang mereka anut,
Kristen. Kondisi ini berlangsung sama antara desa Long Nawang dan Long Bawan.
Keinginan untuk
menjadikan wilayah mereka menjadi terdengar dan diketahui keberadaannya oleh
wilayah lain di Indonesia begitu menggebu, dengan sebuah rekor pembuatan
makanan tradisional terbanyak dalam perayaan HUT RI. Kehendak untuk memecahkan
rekor ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya usaha masyarakat perbatasan
untuk menunjukkan eksistensi nya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Tim P2LP LIPI, sangat
yakin Fenomena yang positif untuk ekspresi dan persepsi kebangsaan tersebut,
dapat menjadi sebuah harapan untuk keberlangsungan keindonesiaan di perbatasan.
Namun, hal ini hanya terlihat baik di permukaan. Dua frasa berbeda namun dalam
pengertian yang sama digunakan dalam menggambarkan rasa keindonesiaan yang
tampak baik dipermukaan ini, yaitu,
“BANGUN KEINDONESIAAN YANG RINGKIH” dan “SEBUAH EKSISTENSI SEMU KEINDONESIAAN
DI KRAYAN”.
Keindonesiaan dalam
Bingkai Perbatasan
Menjadi Indonesia yang
seutuhnya dilihat dalam wujud penggunaan produk dalam negeri bagi masyarakat
perbatasan, bukanlah hal yang mudah dan mestinya bukanlah suatu patokan.
Sulitnya bahan kebutuhan pokok yang merupakan hasil bumi membuat mereka
memiliki ketergantungan yang cukup kuat terhadap negeri jiran. Meskipun produk
dalam negeri itu ada, namun jumlah ketersediaan produk dari Malaysia merupakan
sesuatu hal yang lumrah di sini, tidak terkecuali mata uang yang dijadikan
sebagai alat jual beli juga cukup didominasi oleh Ringgit.
Hal seperti ini
sesungguhnya adalah suatu prose salami semata. Dekatnya jarak tempuh untuk
membeli bahan-bahan tersebut, membuat harga barang barang tersebut jauh lebih
murah jika dibandingkan dari produk dari Tarakan. Jadi adalah sesuatu yang
wajar bila barang-barang produk Malaysia dengan mudah ditemukan dirumah rakyat,
juga di rumah para pejabat daerah di wilayah tersebut. Tidak terbersit sebuah
rasa bersalah ketika mereka lebih memilih menggunakan produk Malaysia dan bahkan lebih mengenal mata uang ringgit
dibandingkan dengan hal-hal yang bernuansakan Indonesia. Mereka mengakui bahwa
pemanfaatan tesebut semata-mata hanya karena keterbatasan kehadiran produk
Indonesia dan kenyataan bahwa harga produk jiran yang lebih terjangkau di desa
mereka.
Ketergantungan
terhadap negeri jiran tidak hanya berhenti pada penggunaan produk-produknya,
tetapi juga pada persoalan sumber penghasilan. Cukup banyak warga desa Long
Nawang dan Long Bawan yang bekerja di Malaysia, terutama di wilayah perbatasan.
Mengingat roda perekonomian didaerah-daerah tetangga tersebut berputar lebih
baik dibandingkan diwilayahnya sendiri. Jenis pekerjaan pun mereka nilai lebih
beragam.
Keakraban atas produk
jiran di perbatasan, ternyata tidak semata hanya berdasarkan alasan ekonomi
semata. Tetapi lebih daripada itu, kebanggaan atas penggunaannya. Seperti
ditemukan pada siswa sekolah di Long Bawan, penggunaan alat-alat sekolah yang
bernuansakan Malaysia lebih membanggakan bagi mereka. Hal yang cukup sederhana
jika dilihat sekilas, namun justru ini menjadi satu dari sekian banyak potret
mengkhawatirkan mengenai persepsi anak usia sekolah tentang apa itu kebanggaan
menggunakan produk dalam negeri. Anak-anak tersebut tidak merekam dengan baik
ke-Indonesia-an dalam benak mereka, sebagai bekal mereka nanti dalam proses
penemuan jati diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Keberadaan nilai-nilai
keindonesiaan di dua wilayah ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai adat yang
dipegang teguh oleh masyarakatnya. Mayoritas penduduk di Long Nawang dan Long
Bawan adalah suku Dayak. Masyarakat di sini amat dikenal sebagai masyarakat
yang menjunjung tinggi nilai-nilai adatnya. Lalu apa hubungannya nilai adat
tersebut dengan nilai keindonesiaan?
Temuan Tim LIPI
memperlihatkan bahwa aturan adat yang ketat telah membuat perasaan untuk tetap
terikat menjadi bangsa Indonesia
terpelihara hingga saat ini. Aturan tersebut menyatakan bahwa anggota
suku akan kehilangan haknya atas tanah mereka jika mereka meninggalkan desa
tersebut. Walau demikian, tidak sedikit masyarakat yang pada akhirnya
memutuskan untuk pindah ke wilayah tetangga, dengan alasan pemenuhan kebutuhan
dasar mereka. Pada satu sisi pengaruh adat seperti ini berdampak positif untuk
membuat masyarakat tetap tinggal diwilayah Indonesia. Namun disisi lain,
keputusan masyarakat untuk tinggal tidak memberikan sumbangan harapan besar
dalam hal bangunan keindonesiaan yang kokoh dihatinya. Karena keputusan itu
lebih bersifat pragmatis daripada didasarkan pada nilai luhur keindonesiaan itu
sendiri, mengingat ada keterpaksaan yang samar terlihat di sana dengan adanya
aturan adat tersebut.
Di samping itu, tetua
adat juga memiliki peran besar dalam membangun pondasi keindonesiaan. Para
tetua adat yang ada selama ini merupakan pihak yang selalu memberikan
penyadaran akan posisi mereka dalam ranah keindonesiaan. Tentunya ini sangat
membantu negara dalam menumbuhkan dan merawat rasa kebangsaan itu didalam benak
masyarakat. Namun, kembali hal ini menjadi suatu manfaat yang juga memiliki
kemanfaatan yang tidak pasti. Pasalnya, selama ini tetua adat yang ada selalu
berada pada poros bangunan rumah Indonesia.
Mungkin akan berbeda
ceritanya jika tetua adat yang bersangkutan adalah pihak yang tidak mendukung
upaya membangun rasa keindonesiaan ditengah-tengah masyarakatnya.
Ketergantungan yang kuat pada tetua adat ini pada akhirnya memiliki dua sisi
mata uang. Disatu sisi memberikan dampak positif ketika tetua adat adalah pihak
yang mendukung keberadaan ”rumah Indonesia”. Kondisi ini disisi lain juga
memberikan dampak negatif, karena tiap warga tidak memiliki independensi untuk
memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan identitasnya politiknya.
Upaya Membuka
Keterisolian
Sekalipun diakui telah
banyak upaya Pemerintah yang dilakukan di perbatasan, khususnya di dua desa
tersebut, namun Tim LIPI mencermati masih belum mengenai sasaran dan dirasakan
masyarakat perbatasan. Masalah utama dalam mengakrabkan masyarakat perbatasan
Indonesia dengan keindonesiaan adalah
jarak yang jauh, dalam arti sebenarnya maupun dalam hubungan komunikasi, antara
desa mereka dengan desa-desa lainnya. Dengan kata lain, membuka keterisoliran
yang mereka rasakan selama ini sebagai kebutuhan dan menjadi pekerjaan rumah
pemerintah pusat.
Pada sektor
transportasi, baik didesa Long Nawang dan Long Bawan, jalur darat telah mulai
dibangun. Baik itu pembangunan jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya. Jalur
udara pun mendapatkan perhatian dari pemerintah melalui subsidi harga tiket
penerbangan, yang dalam hal ini adalah pesawat dengan ukuran kecil (kurang
lebih untuk 6 hingga 10 orang penumpang). Namun, Tim LIPI menilai, jalur udara belum mampu memberikan perubahan
banyak dalam hal memasok kebutuhan pokok masyarakat, karena keterbatasan yang
dimiliki oleh moda transportasi ini. Begitupun jalur darat yang belum bisa
dilalui oleh kendaraan besar dan belum secara merata dalam kondisi layak
tempuh.
Usaha membebaskan
masyarakat perbatasan dari keterisoliran juga dilakukan dengan membangun
jembatan komunikasi. Menara-menara pemancar telah banyak dibangun didaerah
tersebut, namun sayangnya pemancar ini belum berfungsi. Perbaikan dalam hal
infrastruktur pendidikan dan kesehatan pun tidak luput dilakukan. Namun, Tim
LIPI mengamati, perbaikan infrastruktur ini dirasakan tidak terlalu menyentuh
kebutuhan mendasar masyarakat.
Misalnya meskipun
gedung sekolah sudah dalam kategori sangat layak digunakan, namun guru yang
memiliki tingkat pendidikan yang baik dan konsistensi yang tinggi dalam
profesinya justru tidak ada. Padahal, guru justru menjadi harapan bagi negara
untuk bisa memberikan pendidikan wawasan kebangsaan bagi anak-anak yang
nantinya akan menjadi penerus bangsa ini.
Begitupun halnya
dengan sarana puskesmas yang ada di dua desa ini. Gedung dan peralatan medis
yang disediakan berada pada kategori yang baik, namun tidak tersedianya tenaga
dokter selama 24 jam. Kemampuan tenaga medis yang sangat terbatas, membuat
peralatan medis tersebut hanya menjadi hiasan untuk membuat puskesmas terlihat
lebih baik dari sebelumnya.
Pembangunan yang baik
tentunya tidak hanya menyentuh fisik (infrastruktur) saja. Ada banyak hal yang
mampu mendukung pembangunan fisik tersebut menjadi hidup dan bermanfaat. Apalah
artinya sebuah puskesmas jika tidak tersedia dokter dan bahkan obat-obatan di
sana. Perpustakaan tanpa buku pada akhirnya juga hanya akan menjadi bangunan
tua yang lama kelamaan hancur ditelan oleh pergantian cuaca. Anak-anak pun
bersekolah tanpa mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, dikarenakan
terbatasnya buku-buku pelajaran. Kondisi-kondisi ini, yang menurut Tim
LIPI, membuat masyarakat diperbatasan
benar-benar tidak merasakan kehadiran Negara (Indonesia) dalam kehidupan
mereka.
Catatan : Tulisan ini diambil dari www.wilayahperbatasan.com atas seijin otoritasnya-http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-menhgadirkan-indonesia-di-perbatasan/
No comments:
Post a Comment