Dec 30, 2017

Wilayah Perbatasan, Menghadirkan Indonesia di Perbatasan


Wilayah Perbatasan, Menghadirkan Indonesia di Perbatasan


Terus terang bagaimana negara kita membangun wilayah perbatasan hemat saya yang terasa hanyalah hiruk pikuknya. Kenapa saya katakan begitu? Bayangkan ada sebanyak 25 Kementerian/Lembaga yang terlibat dan dapat dana untuk melakukan pembangunan di perbatasan. Malah kini adalagi BNPP. Badan ini sesuai fungsinya mempunyai 4 tugas pokok  yaitu : Menetapkan kebijakan program pembangunan; menetapan rencana kebutuhan  anggaran;  mengkoordinasikan  pelaksanaan; serta melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Tetapi adakah perubahan itu? Ya memang tentunya perubahan itu tidaklah sekedar membalikkan telapak tangan. Saya setuju itu tapi adakah aroma perubahan itu?

Terus terang yang kita rasakan adalah masih banyaknya program yang tidak nyambung, pola pembangunan yang sama dan merata, dan juga aroma penyalah gunaan dana-dana yang ada malah lebih gila dari sebelumnya. Lalu saya ingat bagaimana pada zaman Orde baru dahulu membangun wilayah perbatasan. Yang menonjol adalah Papan-papan nama Instansinya yang lengkap dan ada secara mencolok di desa-desa perbatasan. Tetapi terus terang ya hanya papan nama itu, sementara petugasnya tetap di kabupaten atau di provinsi, mereka dapat gaji seperti biasa tetapi tanpa melaksanakan tugasnya di wilayah perbatasan.

Setelah reformasi ada memang perubahan secara drastis-pemerintah membangun hampir semua gedung-gedung yang memang semestinya di bangun, tetapi sekali lagi hanya gedung-gedungnya saja.Sementara Isinya, personilnya kosong semata. Cobalah misalnya ke Seluas, lihat gedung yang dibangun oleh Kemhan di sana megahnya bukan main-tapi sama sekali tidak ada pengawaknya-kini gedung yang megah itu sudah hampir 6 tahun, dan sebentar lagi akan muspro. Begitu juga dengan gedung gedung sekolah-ya sudah dibangun dalam julam yang banyak tapi tanpa guru dan tanpa buku.

Wilayah Perbatasan Di Mata LIPI
Pada tahun 2013 BNPP telah mengajak LIPI untuk meneliti rasa keindonesiaan diwilayah perbatasan. Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP), Tim penelitian ini dipimpin Forman Noor dkk. Adapun   lokasi penelitiannya berada di wilayah Kabupaten  Malinau (Kecamatan Kayan Hulu, Desa Long Nawang), kemudian Kabupaten Nunukan (Kecamatan Krayan, Desa long Bawan), dan Kota Tarakan.

Pendekatan yang digunakan dalam menakar kebangsaan dalam kajian ini, mengacu pandangan  ERNEST RENAN dengan bukunya What is Nation? (1990),  yang  menjelaskan bahwa nasion merupakan kesadaran untuk bersatu tanpa paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah kepentingan kolektif yang dianggap luhur. Makna kebangsaan tidak dipahami dalam wujud kesamaan budaya dan identitas, tetapi lebih kepada kesamaan melihat masa depan dan cita-cita membentuk sebuah bangsa yang jauh dari keterpaksaan setiap anggota yang ada di dalamnya.

Tim LIPI  sendiri dalam kajiannya menyebutkan bahwa,    nasionalisme adalah kemauan untuk rela bersatu atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan. Dalam pengertian di atas, tim dengan tegas menekankan bahwa keindonesiaan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi serta tetap mengikutsertakan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan.

Ekspresi, Persepsi dan Wawasan Kebangsaan
Lalu seperti apakah nilai-nilai keindonesiaan yang masih hadir di masa sekarang dalam keseharian masyarakat Indonesia? Terutama dalam lingkungan masyarakat perbatasan?  Tim LIPI yakin, di tengah-tengah ketidakadilan dan kehidupan yang jauh dari kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan oleh founding fathers; maka menakar rasa keindonesiaan masyarakat perbatasan tentulah tidak mudah namun juga bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.

Bebeberapa aspek penting yang dicermati Tim LIPI, yaitu, ekspresi, persepsi dan wawasan kebangsaan masyarakat setempat, kemudian bagaimana persepsi dan eskpresi ke-Indonesia-an itu hadir dalam keseharian. Lalu seperti apa upaya-upaya yang telah dan tengah berlangsung dalam menumbuhkan dan memelihara nilai keindonesiaan tersebut.

Ekspresi kebangsaan masih ditemukan di dua lokasi penelitian meski terasa lebih kental pada lapisan permukaan. Untuk pengetahuan mengenai lambang-lambang negara yang sifatnya lebih permanen, seperti BENDERA, LAGU KEBANGSAAN, HARI KEMERDEKAAN, PAHLAWAN NASIONAL, pengetahuan masyarakat cukup memadai. Namun lambang negara yang lebih bersifat periodik keberadaannya, seperti KEPALA NEGARA, KEPALA PEMERINTAHAN DAERAH dan lainnya malah tidak dikenal dengan cukup baik.

Tim LIPI mencermati  di desa Long Bawan, bagaimana anak-anak usia sekolah mengalami kebingungan ketika ditanyakan siapa nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia saat ini – sebuah pengetahuan yang harusnya lazim diketahui oleh bangsa ini. Padahal lambang negara berupa bendera merah putih juga banyak ditemukan di setiap bangunan. Tidak hanya di bangunan-bangunan milik pemerintah, melainkan juga pada milik adat dan milik perorangan warga. Merah putih selalu mendapatkan tempat khusus dan terhormat dalam keseharian masyarakat Long Nawang dan Long Bawan. Tidak hanya dalam acara-acara yang berhubungan dengan pemerintahan, namun acara adat sekalipun mereka selalu menempatkan merah putih sebagai bagian dalam semua bentuk kegiatannya.

Keberadaan desa mereka yang merupakan bagian rumah besar Indonesia juga amat disadari oleh masyarakatnya. Indonesia adalah tempat mereka bernaung hingga akhir hayatnya, dalam hal ini terbersit makna tidak adanya keinginan untuk “pindah rumah” di dalam hati warga perbatasan. Hampir semua mengetahui bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia dan Pulau Kalimantan. Namun, sayangnya, untuk anak-anak usia sekolah sekalipun pengetahuan keberadaan ini tidak diiringi pengetahuan yang baik dalam pemahaman geografisnya. Hal ini terbukti ketika mereka diminta menunjukkan pulau Kalimantan dalam peta Indonesia, mereka justru kebingungan.

Hal lain yang memperlihatkan bahwa nuansa keindonesiaan itu masih ada adalah semangat yang tinggi dari masyarakat untuk merayakan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus, setiap tahunnya.  Kemeriahan perayaannya melebihi kemeriahan perayaan hari besar agama mayoritas yang mereka anut, Kristen. Kondisi ini berlangsung sama antara desa Long Nawang dan Long Bawan.

Keinginan untuk menjadikan wilayah mereka menjadi terdengar dan diketahui keberadaannya oleh wilayah lain di Indonesia begitu menggebu, dengan sebuah rekor pembuatan makanan tradisional terbanyak dalam perayaan HUT RI. Kehendak untuk memecahkan rekor ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya usaha masyarakat perbatasan untuk menunjukkan eksistensi nya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Tim P2LP LIPI, sangat yakin Fenomena yang positif untuk ekspresi dan persepsi kebangsaan tersebut, dapat menjadi sebuah harapan untuk keberlangsungan keindonesiaan di perbatasan. Namun, hal ini hanya terlihat baik di permukaan. Dua frasa berbeda namun dalam pengertian yang sama digunakan dalam menggambarkan rasa keindonesiaan yang tampak baik dipermukaan ini,  yaitu, “BANGUN KEINDONESIAAN YANG RINGKIH” dan “SEBUAH EKSISTENSI SEMU KEINDONESIAAN DI KRAYAN”.

Keindonesiaan dalam Bingkai Perbatasan
Menjadi Indonesia yang seutuhnya dilihat dalam wujud penggunaan produk dalam negeri bagi masyarakat perbatasan, bukanlah hal yang mudah dan mestinya bukanlah suatu patokan. Sulitnya bahan kebutuhan pokok yang merupakan hasil bumi membuat mereka memiliki ketergantungan yang cukup kuat terhadap negeri jiran. Meskipun produk dalam negeri itu ada, namun jumlah ketersediaan produk dari Malaysia merupakan sesuatu hal yang lumrah di sini, tidak terkecuali mata uang yang dijadikan sebagai alat jual beli juga cukup didominasi oleh Ringgit.

Hal seperti ini sesungguhnya adalah suatu prose salami semata. Dekatnya jarak tempuh untuk membeli bahan-bahan tersebut, membuat harga barang barang tersebut jauh lebih murah jika dibandingkan dari produk dari Tarakan. Jadi adalah sesuatu yang wajar bila barang-barang produk Malaysia dengan mudah ditemukan dirumah rakyat, juga di rumah para pejabat daerah di wilayah tersebut. Tidak terbersit sebuah rasa bersalah ketika mereka lebih memilih menggunakan produk Malaysia dan  bahkan lebih mengenal mata uang ringgit dibandingkan dengan hal-hal yang bernuansakan Indonesia. Mereka mengakui bahwa pemanfaatan tesebut semata-mata hanya karena keterbatasan kehadiran produk Indonesia dan kenyataan bahwa harga produk jiran yang lebih terjangkau di desa mereka.

Ketergantungan terhadap negeri jiran tidak hanya berhenti pada penggunaan produk-produknya, tetapi juga pada persoalan sumber penghasilan. Cukup banyak warga desa Long Nawang dan Long Bawan yang bekerja di Malaysia, terutama di wilayah perbatasan. Mengingat roda perekonomian didaerah-daerah tetangga tersebut berputar lebih baik dibandingkan diwilayahnya sendiri. Jenis pekerjaan pun mereka nilai lebih beragam.

Keakraban atas produk jiran di perbatasan, ternyata tidak semata hanya berdasarkan alasan ekonomi semata. Tetapi lebih daripada itu, kebanggaan atas penggunaannya. Seperti ditemukan pada siswa sekolah di Long Bawan, penggunaan alat-alat sekolah yang bernuansakan Malaysia lebih membanggakan bagi mereka. Hal yang cukup sederhana jika dilihat sekilas, namun justru ini menjadi satu dari sekian banyak potret mengkhawatirkan mengenai persepsi anak usia sekolah tentang apa itu kebanggaan menggunakan produk dalam negeri. Anak-anak tersebut tidak merekam dengan baik ke-Indonesia-an dalam benak mereka, sebagai bekal mereka nanti dalam proses penemuan jati diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Keberadaan nilai-nilai keindonesiaan di dua wilayah ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai adat yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Mayoritas penduduk di Long Nawang dan Long Bawan adalah suku Dayak. Masyarakat di sini amat dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai adatnya. Lalu apa hubungannya nilai adat tersebut dengan nilai keindonesiaan?

Temuan Tim LIPI memperlihatkan bahwa aturan adat yang ketat telah membuat perasaan untuk tetap terikat menjadi bangsa Indonesia  terpelihara hingga saat ini. Aturan tersebut menyatakan bahwa anggota suku akan kehilangan haknya atas tanah mereka jika mereka meninggalkan desa tersebut. Walau demikian, tidak sedikit masyarakat yang pada akhirnya memutuskan untuk pindah ke wilayah tetangga, dengan alasan pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Pada satu sisi pengaruh adat seperti ini berdampak positif untuk membuat masyarakat tetap tinggal diwilayah Indonesia. Namun disisi lain, keputusan masyarakat untuk tinggal tidak memberikan sumbangan harapan besar dalam hal bangunan keindonesiaan yang kokoh dihatinya. Karena keputusan itu lebih bersifat pragmatis daripada didasarkan pada nilai luhur keindonesiaan itu sendiri, mengingat ada keterpaksaan yang samar terlihat di sana dengan adanya aturan adat tersebut.

Di samping itu, tetua adat juga memiliki peran besar dalam membangun pondasi keindonesiaan. Para tetua adat yang ada selama ini merupakan pihak yang selalu memberikan penyadaran akan posisi mereka dalam ranah keindonesiaan. Tentunya ini sangat membantu negara dalam menumbuhkan dan merawat rasa kebangsaan itu didalam benak masyarakat. Namun, kembali hal ini menjadi suatu manfaat yang juga memiliki kemanfaatan yang tidak pasti. Pasalnya, selama ini tetua adat yang ada selalu berada pada poros bangunan rumah Indonesia.

Mungkin akan berbeda ceritanya jika tetua adat yang bersangkutan adalah pihak yang tidak mendukung upaya membangun rasa keindonesiaan ditengah-tengah masyarakatnya. Ketergantungan yang kuat pada tetua adat ini pada akhirnya memiliki dua sisi mata uang. Disatu sisi memberikan dampak positif ketika tetua adat adalah pihak yang mendukung keberadaan ”rumah Indonesia”. Kondisi ini disisi lain juga memberikan dampak negatif, karena tiap warga tidak memiliki independensi untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan identitasnya politiknya.

Upaya Membuka Keterisolian
Sekalipun diakui telah banyak upaya Pemerintah yang dilakukan di perbatasan, khususnya di dua desa tersebut, namun Tim LIPI mencermati masih belum mengenai sasaran dan dirasakan masyarakat perbatasan. Masalah utama dalam mengakrabkan masyarakat perbatasan Indonesia  dengan keindonesiaan adalah jarak yang jauh, dalam arti sebenarnya maupun dalam hubungan komunikasi, antara desa mereka dengan desa-desa lainnya. Dengan kata lain, membuka keterisoliran yang mereka rasakan selama ini sebagai kebutuhan dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat.

Pada sektor transportasi, baik didesa Long Nawang dan Long Bawan, jalur darat telah mulai dibangun. Baik itu pembangunan jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya. Jalur udara pun mendapatkan perhatian dari pemerintah melalui subsidi harga tiket penerbangan, yang dalam hal ini adalah pesawat dengan ukuran kecil (kurang lebih untuk 6 hingga 10 orang penumpang). Namun, Tim LIPI menilai,   jalur udara belum mampu memberikan perubahan banyak dalam hal memasok kebutuhan pokok masyarakat, karena keterbatasan yang dimiliki oleh moda transportasi ini. Begitupun jalur darat yang belum bisa dilalui oleh kendaraan besar dan belum secara merata dalam kondisi layak tempuh.

Usaha membebaskan masyarakat perbatasan dari keterisoliran juga dilakukan dengan membangun jembatan komunikasi. Menara-menara pemancar telah banyak dibangun didaerah tersebut, namun sayangnya pemancar ini belum berfungsi. Perbaikan dalam hal infrastruktur pendidikan dan kesehatan pun tidak luput dilakukan. Namun, Tim LIPI mengamati, perbaikan infrastruktur ini dirasakan tidak terlalu menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat.

Misalnya meskipun gedung sekolah sudah dalam kategori sangat layak digunakan, namun guru yang memiliki tingkat pendidikan yang baik dan konsistensi yang tinggi dalam profesinya justru tidak ada. Padahal, guru justru menjadi harapan bagi negara untuk bisa memberikan pendidikan wawasan kebangsaan bagi anak-anak yang nantinya akan menjadi penerus bangsa ini.

Begitupun halnya dengan sarana puskesmas yang ada di dua desa ini. Gedung dan peralatan medis yang disediakan berada pada kategori yang baik, namun tidak tersedianya tenaga dokter selama 24 jam. Kemampuan tenaga medis yang sangat terbatas, membuat peralatan medis tersebut hanya menjadi hiasan untuk membuat puskesmas terlihat lebih baik dari sebelumnya.




Pembangunan yang baik tentunya tidak hanya menyentuh fisik (infrastruktur) saja. Ada banyak hal yang mampu mendukung pembangunan fisik tersebut menjadi hidup dan bermanfaat. Apalah artinya sebuah puskesmas jika tidak tersedia dokter dan bahkan obat-obatan di sana. Perpustakaan tanpa buku pada akhirnya juga hanya akan menjadi bangunan tua yang lama kelamaan hancur ditelan oleh pergantian cuaca. Anak-anak pun bersekolah tanpa mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, dikarenakan terbatasnya buku-buku pelajaran. Kondisi-kondisi ini, yang menurut Tim LIPI,  membuat masyarakat diperbatasan benar-benar tidak merasakan kehadiran Negara (Indonesia) dalam kehidupan mereka.
Catatan : Tulisan ini diambil dari www.wilayahperbatasan.com atas seijin otoritasnya-http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-menhgadirkan-indonesia-di-perbatasan/

No comments:

Post a Comment