Jun 10, 2021

Rumah Sakit Terapung Doctor Share Dambaan Pulau-Pulau Terluar Perbatasan



 
Rumah Sakit Terapung Doctor Share, Ideal Untuk Pulau-Pulau Terluar Perbatasan
Oleh : Myrna Ratna[1]

Dari koceknya, ia mewujudkan mimpi yang muskil, membangun rumah sakit apung. Kemudian berlayarlah Lie Dharmawan mengunjungi pulau-pulau kecil di Nusantara, mengobati ribuan warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis. Di usianya yang sudah 67 tahun, dokter ahli bedah Lie A Dharmawan, PhD terlihat lebih muda. Bicaranya cepat, terstruktur, khas orang-orang yang tidak mau membuang waktu. Waktu memang bergulir cepat bagi Lie yang sehari-harinya dililit jadwal kerja yang padat. Siang itu ia bersama tim Dokter Peduli baru saja menyelesaikan pelayanan medis rutin di tempat pembuangan sampah di Semper, Cilincing, Jakarta Utara. Selain pengobatan, mereka juga memberikan penyuluhan hidup sehat dan bersih kepada keluarga pemulung. ”Mereka itu hidup dari sampah. Air yang ada di sekeliling mereka sangat tidak sehat. Dari empat sumur yang kami periksa, semuanya mengandung dua bakteri pembunuh, E Coli dan Pseudomonas,” kata Lie.

Hidup Lie memang sepenuhnya untuk pengabdian. Semangat ini pula yang mendorongnya mewujudkan sebuah rencana ”gila”, yaitu membuat rumah sakit apung (floating hospital) pertama di Indonesia. Semua orang mencibir dan menyebutnya ”edan” ketika ide itu dimunculkan tahun 2009. Tetapi, ia pantang mundur. Ia sangat yakin, masyarakat tertinggal di Indonesia akan lebih mudah memperoleh akses pelayanan kesehatan dengan menggunakan kapal yang bisa masuk ke pulau-pulau kecil. Kapal yang tahan gelombang dan mampu menyelenggarakan operasi sambil berjalan. Gila memang, tapi tak mustahil.

Pada Maret 2013, impiannya terwujud. Rumah sakit apung itu berhasil dibangun di atas kapal phinisi dengan luas 23,5 x 6,55 meter. Awalnya, kapal bekas yang terbuat dari kayu ulin itu, ia beli dengan harga Rp 600 juta. Biayanya dari menjual rumah. Kapal itu kemudian dimodifikasi menjadi dua tingkat dengan ruang operasi ditempatkan di lambung kapal. ”Kapal ini nilainya sekarang sudah lebih dari Rp 3 miliar. Kami memiliki fasilitas kamar bedah dengan segala peralatan memadai, ruang rontgen, EKG, USG, laboratorium, tempat untuk merawat delapan pasien sekaligus. Saya dibantu sponsor,” kata Lie, yang aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan Lions Club.

Bangga Indonesia  Pelayaran perdana dilakukan ke Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Setelah itu, kapal pun melaju ke Manggar, Belitung Timur; Ketapang, Kalimantan Barat; dan September lalu merapat ke Bali, Labuhan Bajo (Flores Barat), dan Pulau Kei di Maluku. ”Sampai hari ini total kami sudah melaksanakan 178 operasi, mulai dari hernia sampai tumor, dan ada sekitar 2.000 warga yang sudah kami obati,” kata Lie.

Kenapa rumah sakit apung?  Di tahun 2012, Indonesia itu membutuhkan 160.000 tempat tidur, yang tersedia baru 60.000. Untuk membangun kamar atau rumah sakit, tidak masalah, tapi software-nya bagaimana? Bagaimana menghasilkan dokter? Intinya kita kekurangan tenaga dokter. Distribusi juga tidak merata. Saya ingin kita ini bangga menjadi Indonesia. Kalau kita bangga, mari kita lakukan apa yang bisa dilakukan, saya tidak mau mengulang kata Kennedy, bagi bangsa dan negara ini, agar kita dapat menegakkan kepala. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Jangan cuma korupsi kita yang dilihat oleh dunia.

Bagaimana kebanggaan menjadi Indonesia itu diterjemahkan lewat perahu?  (Lie terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca).

Itu terjadi pada Maret 2009 ketika saya melakukan operasi di Pulau Kei, Maluku. Pada hari terakhir, datang seorang ibu membawa anak perempuannya yang sangat kesakitan usia 9 tahun. Untuk sampai ke tempat saya, mereka harus berlayar tiga hari dua malam. Anak ini menderita hernia incarserata, usus terjepit. Secara teori kedokteran, anak ini harus ditolong dalam 6-8 jam, sedangkan perjalanannya sudah lebih dari dua hari. Bonyoklah itu usus.



Saya lakukan bedah, dan anak ini sehat, sembuh. Ini bukan kepandaianku, tapi ada kuasa supranatural. Saya selalu berdoa, kadang saya berdialog dalam doa saya. Di situ gambaran anak ini terbayang lagi dan seolah ada suara yang mengatakan: ”Maukah kau melayani-Ku?” Tentu ini pengalaman sangat pribadi. Saya tolak. Saya sudah terlalu capai. Saya sudah melayani-Mu dua puluhan tahun. Saya sudah banyak menolong orang miskin. Segala kesombongan dan kecongkakan saya keluar. Pokoknya saya enggak mau. Tapi, bayangan anak itu datang dan datang lagi. Sampai suatu malam, dengan berurai air mata saya mengatakan, Tuhan saya mau. Saya sadar bahwa ini akan berimplikasi sangat luar biasa, akan begitu banyak beban bagi saya. Pengorbanan waktu, uang, perasaan. Dan ini terjadi.

Seberapa sulit melakukan bedah di atas kapal?

Banyak pihak yang mengatakan enggak mungkin kamu melakukan operasi bedah di kapal yang begitu kecil. Saya mencoba operasi di atas kapal pertama kali pada Maret 2013, kapalnya ditambat dulu. Eh bisa. Lalu kami berlayar ke Belitung, kapal diparkir di tengah laut nggak pake ditambat, saya lakukan operasi besar. Bisa. Nah, ketika ke Pulau Komodo, saya melakukan operasi sambil kapalnya jalan. Lihatlah oleh dunia sekarang. Semangat Indonesia mengalahkan segala kesulitan yang kita hadapi.

Kapal Floating Hospital, Ideal Buat Negara Kepulauan

Kapal Floating Hospital ini memang lahir dari semangat pengabdian. Untuk membangun kapal tersebut, Lie bekerja secara total termasuk menjual sebuah  rsteraprumahnya.Pembangunan nya dilakukan dengan memodifikasi kapal nelayan, dimodifikasi menjadi kapal yang di dalamnya terdapat fasilitas-fasilitas medis. Menurut Lie gagasan pembuatan RS terapung ini muncul pada 28 Maret 2009. Lie mengaku membutuhkan waktu lama untuk menuntaskan pengerjaan RS terapung itu karena sama sekali tidak ada contoh RS serupa. “Yang ada di Indonesia kan RS terapung milik tentara yang sudah terpola secara jelas”katanya waktu itu.

Awalnya, selain buta soal spesifikasi kapal, Lie dan timnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai untuk dimodif jadi rumah sakit. Tadinya, mereka ingin menggunakan kapal jenis tongkang dengan pertimbangan memiliki badan lebar. Tetapi, ternyata kurang layak. Kemudian mereka menjajaki untuk menggunakan kapal berbahan fiber. Namun, dipercaya perahu fiber gampang pecah ketika menabrak karang. “Akhirnya, mereka memutuskan menggunakan perahu nelayan buatan Palembang. Meski sederhana, tetapi mereka percaya kapal ini lebih memadai untuk keperluan rumah sakit.

Kapal ini berukuran panjang 23,5 meter dan lebar 6,55 meter  terbagi dalam tiga dek. Dek atas menjadi ruang nakhoda serta tempat berinteraksi santai para relawan. Dek tengah merupakan dek utama. Di sinilah ruangan Operasi itu berada. Salah satunya terdapat ruang bedah (operasi). Meja operasinya berupa tempat tidur dorong, lengkap dengan penerangan di atasnya dan seperangkat alat bedah. Di sebelah ruang operasi ada ruang pemulihan pasca operasi, lengkap dengan berbagai peralatan medis pendukungnya.

Sementara itu, dek bawah merupakan ruang pemeriksaan USG dan rontgen. Karena itu, meski relatif sederhana, kapal tersebut sudah pantas disebut RS terapung.Selain ruangan-ruangan itu, Floating Hospital dilengkapi delapan tempat tidur untuk pasien, ruang periksa, laboratorium sederhana, dan ruang arsip. Ada pula kamar dokter, kamar perawat, kamar karyawan, ruang diskusi, dapur, dan tentunya kamar mandi. Hanya saja kapal ini berkecepatan baru bisa 6 knot, jadi memang tergolong sangat lamban.

rsterapungUntuk membangun kapal tersebut, Lie bekerja secara total termasuk menjual sebuah rumahnya. Lie menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk merenovasi dan mengisi perlengkapan medis Floating Hospital. Namun, biaya itu separo lebih murah dari anggaran yang diperkirakan sekitar Rp 6 miliar. Mereka bisa menekan biaya pengadaan karena banyak perlengkapan medis yang mereka dapatkan dengan diskon khusus.

Berobat di RS Floating Hospital sama sekali tidak dipungut biaya. RS ini memang Dr Lie tujukan untuk misi kemanusiaan. Karena itu   salah satu yang akan diupayakan adalah meminta dukungan dari para donatur. Sementara ini Lie menggunakan dana lewat keuntungan kliniknya yang beroperasi di Jakarta. Dia juga sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah daerah agar turut mendanai RS tersebut lewat program jamkesmas atau jamkesda.

Operasi pertama mereka lakukan pada 16 Maret 2013 di Pulau Panggang, Kapal membutuhkan waktu perjalanan selama empat setengah jam dari pelabuhan kumuh Muara Baru Jakarta Utara ke Dermaga timur Pulau Panggang. Di dermaga tersebut, puluhan warga beserta sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu telah menunggu. Antara lain, 15 warga yang sudah dijadwalkan untuk menjalani operasi secara gratis di kapal terapung itu. Semua operasi berjalan lancar, memang sempat ada dokter volunteer yang pusing karena ruang operasinya bergoyang-goyang. Floating Hospital mampu menangani berbagai macam operasi mayor. Namun, memang ada beberapa jenis operasi yang sangat rumit, sehingga mau tidak mau harus dilakukan di darat. Misalnya, operasi jantung.

Lie bersama tim DOCTOR SHARE juga sedang menyiapkan rute-rute perjalanan laut kapalnya. Misalnya, ke Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Bali, Sumba, Flores, dan Kepulauan Kei. Lie menambahkan, layanan RS terapung mutlak dibutuhkan di Indonesia. Mengingat, Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyak kawasan di pesisir pantai yang minim fasilitas kesehatan termasuk pulau-pulau terluar di perbatasan. “Di DKI saja yang notabene ibu kota negara, layanan kesehatan di kawasan pesisir jauh dari layak. Ini tentu sangat memprihatinkan.

Mereka yang terperangkap
Jumlah dokter di Indonesia sangat minim. Menurut data resmi, dari total jumlah dokter di Indonesia yang sekitar 80.000 orang, 21 persen ada di Jakarta. Jika ditarik lebih jauh, 60 persen ada di Pulau Jawa. Sementara penduduk yang harus dilayani ada sekitar 240 juta orang. Artinya, satu dokter dibutuhkan untuk 3.000 jiwa. Berdasarkan pengalamannya, Lie melihat, semakin ke timur Indonesia semakin banyak anak-anak yang terperangkap dalam lingkaran kesulitan. Bukan saja mereka tak memiliki akses terhadap pelayanan medis, tapi kualitas hidupnya juga sangat rendah akibat kemiskinan. ”Akan seperti apa masa depan mereka? Generasi seperti apa yang akan kita dapatkan nanti?” kata Lie.

Itu sebabnya, selain memberikan pelayanan medis, di sejumlah titik Lie dan tim dokter juga membentuk panti rawat gizi (therapeutic feeding centre). Mereka merawat anak-anak kekurangan gizi dengan pengawasan ketat, khususnya asupan makanan.

Apakah kehadiran puskesmas efektif?

Semua tergantung dari pelakunya. Kita bikin puskesmas bagus tapi kalau dokternya jarang hadir sama juga bohong. Kami membuat panti rawat gizi untuk anak-anak yang kekurangan gizi. Karena kurang gizi, dengan sendirinya daya tahan tubuh mereka drop. Ketika daya tahan tubuh rendah, segala penyakit familier dengan mereka. Makanan mereka tidak sehat, alhasil mereka cacingan. Semua anak yang masuk ke panti gizi kami beri obat cacing, nah cacingnya keluar gede-gede. Kalau ada cacing apa yang terjadi? Anemi. Statistik menunjukkan, hampir 30 persen balita Indonesia mengalami anemi. Penyakit menular lainnya, infeksi saluran pernapasan, juga tuberkulosis.

Di panti rawat gizi, kami tidak hanya memberi makan. Kalaupun memberi makan, itu dengan formula untuk menumbuhkembangkan organ otak sesuai dengan usia mereka agar ketika golden period lima tahun itu tercapai, mereka sudah punya cikal-bakal yang baik. Kalau sudah lewat lima tahun, dikasih apa pun, mereka akan jadi gemuk, tapi IQ dan EQ akan tetap jongkok. Padahal, pada generasi penerus inilah kita gantungkan nasib bangsa dan negara.

Bentuk bantuannya seperti apa?

Pertolongan yang kami berikan memang cuma-cuma, tapi bukan dalam bentuk rupiah. Kami biasanya merawat 30-60 hari ada yang sampai 90 hari. Kami secara rutin melakukan inspeksi dari rumah ke rumah, kalau merekarelapse (kondisinya kembali buruk seperti semula), dengan senang hati kami katakan datanglah lagi untuk satu atau dua minggu.

Kuncinya adalah kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Kalau anak ini kami temui dengan keadaan kurang gizi dan buruk gizi, kami minta ibunya ikut hadir. Ibu ini diajarkan untuk merawat anaknya, termasuk membuat makanan untuk anaknya dengan bimbingan dokter. Kami tidak merawat anak itu, tapi ibunya yang merawatnya dengan pengawasan kami. Kalau sudah keluar dari panti, mereka bisa membuat sendiri makanan di rumah. Saat ini sudah ada 100 anak yang selesai dirawat. Kami harap para ibu ini bisa memberi contoh kepada tetangganya, menularkan ilmunya, membuat makanan yang murah tetapi bergizi.

Keras kepala

Lie lahir di sebuah desa di pesisir selatan Padang, Sumatera Barat, dari sebuah keluarga yang sangat sederhana. Ada peristiwa yang terekam kuat dalam ingatannya yang membuatnya sadar bahwa ia ”berbeda”. Suatu hari ketika merasa lapar setelah seharian bermain, Lie kecil pulang dan mengatakan pada ibunya bahwa ia lapar. Namun, sang ibu tidak menyuruhnya makan, tetapi hanya diam dan mengeluarkan air mata. Lie tidak mengerti dan kembali bermain.

Namun, pengalaman berikutnyalah yang membuatnya tersadar. Suatu ketika ia dipanggil ke depan kelas untuk bercerita tentang ”cita-cita”. Lie pun dengan lantang mengatakan bahwa ia bercita-cita menjadi dokter. Seluruh temannya dan juga gurunya tertawa. Gurunya mengatakan bahwa ia harus sadar bahwa dirinya anak keluarga miskin. ”Barulah untuk pertama kali saya ngeh kalau saya itu berbeda. Kalau saya itu orang miskin,” kata Lie.

Tetapi, itu tidak menyurutkan langkahnya. Mungkin di sinilah awal pembentukan karakter keras kepalanya. ”Sejak saat itu saya setiap hari diam-diam ke gereja dan berdoa bahwa saya ingin jadi dokter. Saya lakukan setiap hari, selama bertahun-tahun. Doanya sama, ‘saya ingin jadi dokter’. Saya memang keras kepala,” lanjut Lie, yang akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan kedokteran S-1 sampai S-3 di Jerman.

Apa yang diajarkan oleh orangtua sehingga muncul tekad seperti itu?

Mama pernah berkata pada saya, kalau kamu suatu saat menjadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar, tapi ketika pulang mereka akan menangis karena ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras. Dan, saya ingat bagaimana ibu saya menangis ketika saya minta makan, dan itu sesuatu yang tidak bakal saya lupakan seumur hidup saya.

Setelah lama bermukim di Jerman, apa yang Anda mendorong kembali ke Indonesia?

Saya bekerja di sebuah rumah sakit universitas yang besar di Jerman. Saya punya jenjang karier yang baik. Kalau saya tetap di Jerman, saya jadi tenaga pengajar. Ilmu yang saya peroleh akan diterapkan sebagian besar untuk ilmu kedokteran. Saya satu dari sekian ratus ribu dokter di sana. Kalau saya pulang, ilmu kedokteran yang saya pelajari benar-benar bisa diaplikasikan untuk kemanusiaan, terutama untuk mereka yang membutuhkan pertolongan tapi tidak memiliki akses.

Prinsip yang Anda tekankan untuk profesi ini?

Kalau kita berprofesi apa pun, janganlah jadikan profesi itu sebagai senjata untuk merampok. Saya ahli bedah, saya tidak akan merampok dengan menggunakan pisau operasi saya. Bahwa saya ketika mengerjakan pekerjaan mendapat imbalan yang setara, itu adalah hak kita. Tapi kita harus tetap punya idealisme.

Lihat di Indonesia ini, bukankah gemerincing dollar merupakan ukuran keberhasilan seseorang? Inget lhodokter, insinyur, farmasis, kita ini hidup ada tujuannya, kita ini hidup bernegara. Bung Karno pernah mengatakan, kemerdekaan itu politis, seumpama itu jembatan emas yang sudah dibangun nun di sana di seberang bangunlah istana gading. Itulah tugas kita. Apakah kita telah sampai di sana? Dulu sewaktu saya jadi mahasiswa banyak suster dari Taiwan, Korea. Sekarang tak ada lagi Korea mengirim suster, mereka kirim manajer. Bagaimana dengan kita? Kok kita bangga mengirim sekian juta TKI yang mengharapkan 100 dollar per bulan?

Konsep kesederhanaan bagi Anda itu apa?

Saya puas dengan kehidupan saya, saya tidak mau berlebihan. Saya sudah 26 tahun punya diabetes, tapi gula darah saya terkontrol baik. Saya punya satu obat, jamu jarak. Jaga mulut jangan rakus. Mulutmu adalah harimaumu. Istri saya pernah bertanya ketika kehidupan saya masih belum semapan sekarang, cukupkah uang yang kita berikan untuk orang-orang? Kalau kurang tambah lagi, kan, kita enggak kelaparan ini. Setiap bulan sayanombok untuk proyek ini. Saya merasa ini masih bisa membantu orang, di situlah letaknya. Sering saya kasih contoh: kalian tahu kita setiap hari bernapas, berapa banyak oksigen yang kalian hirup? Gratis. Coba lihat di ICU, berapa oksigen yang harus kita bayar? Berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk narcose itu? Kita seumur hidup bernapas gratis, sudah berapa kita berutang pada Tuhan?

Masih punya mimpi apa lagi?

Saya tidak akan berhenti di rumah sakit apung. Saya ingin membangun rumah sakit tanpa kelas, low cost hospital. Saya ingin membahagiakan manusia. Saya tidak akan berhenti berpikir.



Dr Lie A Dharmawan, PhD, Sp.B, Sp.BTKV

Lahir: Padang, 16 April 1946
Orangtua; Lie Goan Hoey dan Pek Leng Kiau (Julita Diana)
Istri: Tan Lie Tjhoen (Listijani Gunawan)
Anak:
– Lie Mei Phing (36)
– Lie Ching Ming (33)
– Lie Mei Sing (21)
Pendidikan:
– S-1 Freie Universitat, Berlin
– S-2 University Hospital, Cologne
– S-3 Freie Universitat, Berlin
Pekerjaan:
– Kepala Bagian Bedah RS Husada
– Wakil Ketua INTI (Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) DKI Jakarta
– Pendiri Yayasan Dokter Peduli (doctorSHARE)
– Anggota Lions Club


[1]  Sumber Kompas minggu 22 desember 2013 : dimuat kembali di www.wilayahperbatasan.com tanggal December 23, 2013





No comments:

Post a Comment