Mempertegas Lagi Peran
BNPP dalam Pembangunan Perbatasan
Oleh harmen batubara
Catatan Blog – Tulisan
ini diambil dari Catatan Blog Seorang Prajurit Perbatasan www.wilayahperbatasan.com pada
tanggal 14 Januari 2014; karena di nilai isinya masih relepan, BNPP terlihat
masih belum jauh berbeda dari saat-saat kelahirannya.
Selama ini kita tahu
begitu banyak Kementerian dan Lembaga yang mengurusi wilayah perbatasan, tetapi
tiba di ujungnya semua justeru seolah cari “rezeki” di wilayah perbatasan ini.
Pengelolaan perbatasan dilihat dari sisi perjalannya (historynya) serta kenyataannya
memang sudah seperti itu, sudah jadi tradisi. Meski regulasi baru
diperkenalkan, tetapi pengorganisasiannya seolah tidak pernah berubah. Begitu
juga setelah adanya Badan Nasional Pengelola Perbatasan, berbagai mekanisme itu
memperlihatkan masih seperti pola lama dan tidak ada yang berubah. Tulisan
berikut barangkali bisa memperlihatkan bagaimana peran BNPP dan peran K/L yang
ada melakukan tugas dan perannya dalam pengelolaan wilayah perbatasan.
Penanganan wilayah
perbatasan di Propinsi Kalbar hingga saat ini memang sudah ada lembaga khusus
yang menangani wilayah perbatasan. Namun demikian penanganan perbatasan masih
bersifat parsial, temporer dan bahkan ad hoc dengan leading sector yang berbeda-beda (secara sektoral)
sehingga penanganannya tidak memberikan hasil yang optimal.
Penanganan wilayah
perbatasan selain dilakukan oleh unit-unit
pelaksana teknis (badan-badan dan
dinas-dinas di propinsi dan kabupaten),
dilakukan juga upaya kerjasama bilateral dengan menginduk pada Sosek
Malindo sementara pengelolaan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di
Kabupaten Sanggau masih ditangani oleh Pusat.
Pembentukan Sosek
Malindo mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim
Koordinasi Kerjasama Sub Regional. Sedangkan pembentukan PPLB dilakukan
berdasarkan:
Perjanjian tentang
perdagangan lintas batas antar Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia pada
tanggal 24 Agustus 1970.
Persetujuan mengenai lintas batas antara RI
dengan Malaysia tanggal 12 Mei 1984.
UU No. 10 tahun 1995
tentang Cukai.
Kepmen Perdagangan No. 36/KP/III/95
tentang perdagangan lintas batas melalui
PPLB Entikong di Kalbar.
Kepmen Keuangan No. 490/KMK 0.5/1996 tentang
tata laksana impor barang, penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas,
kiriman pos dan kiriman melalui jasa titipan.
Keputusan Dirjen Bea Cukai No. KEP-78/BC/1997 tentang juklak penyelesaian barang penumpang, awak
sarana pengangkutan, pelintas batas, kiriman melalui jasa titipan dan kiriman
pos.
Kedudukan Sosek
Malindo dalam instansi Pemerintah Propinsi Kalbar secara struktural melekat
pada Bappeda Prop Kalbar yang ditunjuk oleh Pemerintah Propinsi Kalbar sebagai
Ketua Tim Teknis Kelompok Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek Malindo. Sosek Malindo merupakan forum kerjasama di
bidang sosial ekonomi yang dilandasi
oleh latar belakang politik mengenai wilayah
perbatasan Malaysia (Sabah dan
Sarawak) dengan Indonesia (Kalbar dan
Kaltim).
Sosek Malindo diketuai
oleh General Border Committee (GBC) di
masing-masing negara dan
untuk Indonesia Ketua GBC adalah
Panglima TNI. Kedudukan GBC berada di bawah lembaga Join Commission Meeting
RI-Malaysia (JCM) yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri. Adapun pengelola PPLB
secara umum diatur oleh peraturan yang mengikat semua pihak yang terkait. Pengelolaan yang berjalan selama ini belum memiliki dasar hukum yang
memadai karena bersifat sementara (adhoc) dan Ketua Kelompok Kerja Sosekda
Kalbar ditunjuk untuk mengelola PPLB Entikong ini.
Adapun tugas Sosek Malindo antara lain adalah:
Menentukan proyek-proyek
pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama-sama.
Merumuskan hal-hal
yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi dan wilayah
perbatasan.
Melaksanakan
pertukaran informasi mengenai
pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama.
Sosek Malindo memiliki
fungsi koordinasi kerjasama sub regional
antar negara (Pemerintah Kalbar dan Sarawak) di bidang sosial
ekonomi kedua negara. Sementara itu fungsi PPLB Entikong
adalah sebagai kantor pengurusan
administrasi, pintu masuk, pemisahan
jalur masuk dan keluar, dan tempat untuk
memeriksa kegiatan baik orang maupun
barang yang melintasi perbatasan negara.
Berkaitan dengan
mekanisme pertanggungjawaban, Tim Teknis yang diketuai oleh Bappeda Propinsi
Kalbar bertanggung jawab kepada Ketua Kelompok Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek
Malindo Daerah Kalbar-Sarawak. Ketua
Kelompok Kerja bertanggungjawab kepada:
Asops Kasum TNI selaku
Ketua Coordinated Operation Control Committee (COCC) dan Ketua Jawatan Kuasa
Latihan Bersama (JKLB).
Aster-Kaster TNI selaku Ketua Kelompok Kerja
Sosek Malindo.
Kabasamas selaku Ketua Kelompok Kerja SAR.
Selanjutnya pertanggungjawaban diteruskan ke
Kasum TNI selaku Ketua Staff Planning Committee (SPC) dan Panglima TNI selaku
Ketua GBC.
BNPP Ternyata Belum
Ada di Lapangan?
Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan lembaga struktural dan bersifat permanen
dengan 4 (empat) tugas, yaitu menetapkan kebijakan program pembangunan
perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan
dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Bayangkan dengan ketentuan seperti
itu, BNPP mestinya sudah sangat bisa diharapkan akan mampu membawa perubahan ke
kawasan perbatasan.
Membaca Strategi Perbatasan Jokowi
Bayangan kita tadinya,
setelah adanya BNPP ini maka keterlibatan TNI sudah semestinya kembali ke “core
business” mereka, TNI hanya akan menjadi pengelola dan pelaksana pertahanan
negara. Begitu juga dengan K/L lainnya yang tadinya ikut memberi perhatian pada
perbatasan tentu akan menginduk ke BNPP. Tetapi ternyata perubahan seperti itu
belum juga muncul. Akibatnya malah
semakin tidak jelas siapa atau
lembaga mana yang mengelola wilayah perbatasan, siapa yang menangani
kawasan perbatasan dan lembaga mana pula yang menangani Garis perbatasan. Semua
ini menjadikan penanganan wilayah
perbatasan belum bisa berjalan optimal dan terpadu malah seringkali terjadi tarik menarik kepentingan antar
berbagai pihak.
Timbulnya konflik
antar berbagai pihak tersebut (baik horisontal mapun vertikal) tidak dapat
dihindari dan kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya kebijakan yang
tidak saling mendukung atau kurang sinkron satu sama lain. Misalnya belum
terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara, baik melalui
kerjasama ekonomi sub regional (Sosek Malindo dan BIMP-EAGA), konektivity Asean
maupun dengan rencana Pembangunan Enam Koridor Nasional serta MP3E.
Peran Daerah Dalam
Pengelolaan Perbatasan
Dalam mengelola
wilayah perbatasan, Pemerintah Propinsi
Kalimantan Barat berpedoman pada
UU No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, PP No. 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), UU No. 25 Tahun 2000 tentang
PROPENAS, dan INPRES No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan
Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Strategi yang
ditempuh oleh Pemerintah Propinsi
Kalimantan Barat dalam mengelola wilayah perbatasan adalah dengan mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan yang diharapkan menjadi pendorong
pengembangan kawasan perbatasan secara keseluruhan. Pusat-pusat pertumbuhan
tersebut meliputi:
Temajo (Kecamatan
Paloh) dan Aruk (Kecamatan Sajingan
Besar) di Kabupaten Sambas.
Jagoi Babang (Kecamatan Jagoi Babang) di
Kabupaten Bengkayang.
Entikong (Kecamatan Entikong) di Kabupaten
Sanggau.
Nanga Bayan (Kecamatan Ketungau Hulu) di
Kabupaten Sintang.
Nanga Badau (Kecamatan
Badau) di Kabupaten Kapuas Hulu.
Sesuai Idenya
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di
atas dilakukan oleh BNPP. Sesuai rencananya pengembangan dimulai tahap pertama
dari wilayah Entikong pada tahun 2003,
tahap kedua wilayah Nanga Badau yang dimulai pada tahun 2004. Empat pusat pertumbuhan lainnya
akan dikembangkan secara simultan pada tahap ketiga yang rencananya akan dimulai pada tahun 2005 dengan asumsi telah tercapai kesepakatan antara
Indonesia-Malaysia dan keberhasilan pada tahap pertama. Tetapi ternyata semua
Ide itu masih sebatas ide.
Strategi selanjutnya
adalah pengembangan Border Development Center (BDC) di Entikong. Pengembangan
kawasan BDC ini dimaksudkan sebagai pusat
kegiatan industri, jasa dan perdagangan,
dan juga pusat pelatihan dan pelayanan tenaga kerja yang terpadu dan mandiri yang dikelola oleh suatu
kelembagaan yang profesional dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang
memadai. BDC belum jelas, tetapi pemda Sarawak malah sudah mengembangkan
Pelabuhan Darat Tebedu-yang terpadu dengan Pelabuhan dan bandara Internasional
Kuching, Sarawak.
Permasalahan yang pada
umumnya terjadi di wilayah perbatasan antara Propinsi Kalbar (Indonesia) dengan
Sarawak (Malaysia) adalah terjadinya ketimpangan/kesenjangan keadaan sosial
ekonomi antara penduduk Kalbar
dengan Sarawak yang cukup besar.
Menurut informasinya memang tingkat pendapatan penduduk Kalbar berkisar
US$ 3000, sedangkan penduduk Sarawak mencapai US$ 14000.
Permasalahan mendasar lainnya adalah terbatasnya infrastruktur wilayah seperti
jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, serta terbatasnya fasilitas sosial
ekonomi seperti sarana kesehatan,
pendidikan dan sebagainya.
Selama ini terkesan bahwa Pemerintah Pusat, Propinsi
maupun Kabupaten masih berjalan sendiri-sendiri. Dampak dari permasalahan
tersebut berakibat pada minimnya sentuhan pembangunan sosial ekonomi di daerah
perbatasan sehingga relatif tertinggal bila dibandingkan dengan daerah lainnya.
Dalam menghadapi permasalahan di
wilayah perbatasan, selama ini penanganannya masih bersifat parsial,
sektoral, skala kecil, normatif, dan
diperlakukan secara seragam.
Secara historis
pendekatan kebijakan yang diterapkan dalam menangani pembangunan daerah perbatasan lebih
menekankan pada aspek keamanan (security approach) dan cenderung bernuansa
sentralistik. Sebagai akibat dari minimnya kebijakan yang menyentuh
wilayah perbatasan, pembangunan kawasan
perbatasan di Kalbar relatif terabaikan dan jauh tertinggal dibandingkan dengan
wilayah perbatasan Sarawak.
Yang Ingin Kita Katakan
Pemerintah sudah
membentuk BNPP, dan badan ini dengan segala keterbatasannya sudah membuat GRAND
DESIGN pembangunan di wilayah/kawasan perbatasan, yang pada ujungnya kita kenal
menghasilkan Lokasi-lokasi prioritas yang akan dibangun. Tetapi bagaimana jabaran
dari pembangunannya di Lokasi prioritas ini? Sama sekali hanya mengandalkan
pada kemauan Pemda setempat.
Padahal kita tahu
wilayah perbatasan ini membutuhkan pembukaan keterisolasian yang mampu
mengaitkannya dengan pola pembangunan nasional dan Asean; sayangnya Grand
Design itu belum/tidak tersinergikan dengan Enam Koridor Pembangunan Ekonomi
Nasional- tidak terkoneksikan dengan Konektivitas Asean. Tetapi satu hal yang
ingin kita ingatkan adalah bahwa tradisi pengelolaan perbatasan ini dari
sananya memang sudah seperti itu, dan meski organisasinya sudah diganti tetapi
pola lama masih saja yang berlaku. Kalau perbatasannya bisa dibangun dengan
sebagaimana mestinya, tentu tidak jadi masalah tetapi kalau sebaliknya maka
itulah yang kita sayangkan, tradisi yang tidak “benar” itu ternyata masih saja
berlanjut.