Dec 30, 2017

Mempertegas Lagi Peran BNPP dalam Pembangunan Perbatasan


Mempertegas Lagi Peran BNPP dalam Pembangunan Perbatasan

Oleh harmen batubara

Catatan Blog – Tulisan ini diambil dari Catatan Blog Seorang Prajurit Perbatasan www.wilayahperbatasan.com pada tanggal 14 Januari 2014; karena di nilai isinya masih relepan, BNPP terlihat masih belum jauh berbeda dari saat-saat kelahirannya.

Selama ini kita tahu begitu banyak Kementerian dan Lembaga yang mengurusi wilayah perbatasan, tetapi tiba di ujungnya semua justeru seolah cari “rezeki” di wilayah perbatasan ini. Pengelolaan perbatasan dilihat dari sisi perjalannya (historynya) serta kenyataannya memang sudah seperti itu, sudah jadi tradisi. Meski regulasi baru diperkenalkan, tetapi pengorganisasiannya seolah tidak pernah berubah. Begitu juga setelah adanya Badan Nasional Pengelola Perbatasan, berbagai mekanisme itu memperlihatkan masih seperti pola lama dan tidak ada yang berubah. Tulisan berikut barangkali bisa memperlihatkan bagaimana peran BNPP dan peran K/L yang ada melakukan tugas dan perannya dalam pengelolaan wilayah perbatasan.

Penanganan wilayah perbatasan di Propinsi Kalbar hingga saat ini memang sudah ada lembaga khusus yang menangani wilayah perbatasan. Namun demikian penanganan perbatasan masih bersifat parsial, temporer dan bahkan ad hoc dengan  leading sector yang berbeda-beda (secara sektoral) sehingga penanganannya tidak memberikan hasil yang optimal.

Penanganan wilayah perbatasan selain dilakukan oleh unit-unit  pelaksana teknis  (badan-badan dan dinas-dinas di propinsi dan kabupaten),  dilakukan juga upaya kerjasama bilateral dengan menginduk pada Sosek Malindo sementara pengelolaan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di Kabupaten Sanggau masih ditangani oleh Pusat.

Pembentukan Sosek Malindo mengacu pada Keppres No. 13 Tahun 2001 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Kerjasama Sub Regional. Sedangkan pembentukan PPLB dilakukan berdasarkan:

Perjanjian tentang perdagangan lintas batas antar Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia pada tanggal 24 Agustus 1970.
 Persetujuan mengenai lintas batas antara RI dengan Malaysia tanggal 12 Mei 1984.
UU No. 10 tahun 1995 tentang Cukai.
 Kepmen Perdagangan No. 36/KP/III/95 tentang  perdagangan lintas batas melalui PPLB Entikong di Kalbar.
 Kepmen Keuangan No. 490/KMK 0.5/1996 tentang tata laksana impor barang, penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, kiriman pos dan kiriman melalui jasa titipan.
Keputusan  Dirjen Bea Cukai No.  KEP-78/BC/1997 tentang  juklak penyelesaian barang penumpang, awak sarana pengangkutan, pelintas batas, kiriman melalui jasa titipan dan kiriman pos.
Kedudukan Sosek Malindo dalam instansi Pemerintah Propinsi Kalbar secara struktural melekat pada Bappeda Prop Kalbar yang ditunjuk oleh Pemerintah Propinsi Kalbar sebagai Ketua Tim Teknis Kelompok Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek Malindo.  Sosek Malindo merupakan forum kerjasama di bidang sosial  ekonomi yang dilandasi oleh latar belakang politik mengenai wilayah  perbatasan Malaysia  (Sabah dan Sarawak) dengan  Indonesia (Kalbar dan Kaltim).

Sosek Malindo diketuai oleh General Border Committee (GBC)  di masing-masing  negara  dan  untuk  Indonesia Ketua GBC adalah Panglima TNI. Kedudukan GBC berada di bawah lembaga Join Commission Meeting RI-Malaysia (JCM) yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri. Adapun pengelola PPLB secara umum diatur oleh peraturan yang mengikat semua pihak  yang terkait. Pengelolaan yang berjalan  selama ini belum memiliki dasar hukum yang memadai karena bersifat sementara (adhoc) dan Ketua Kelompok Kerja Sosekda Kalbar ditunjuk untuk mengelola PPLB Entikong ini.

Adapun tugas Sosek Malindo antara lain adalah:

Menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama-sama.
Merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi dan wilayah perbatasan.
Melaksanakan pertukaran informasi mengenai  pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan bersama.
Sosek Malindo memiliki fungsi koordinasi kerjasama sub regional  antar negara (Pemerintah Kalbar dan Sarawak) di bidang sosial ekonomi  kedua  negara. Sementara itu fungsi PPLB Entikong adalah sebagai  kantor pengurusan administrasi, pintu  masuk, pemisahan jalur masuk  dan keluar, dan tempat untuk memeriksa  kegiatan baik orang maupun barang yang melintasi perbatasan negara.
Berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban, Tim Teknis yang diketuai oleh Bappeda Propinsi Kalbar bertanggung jawab kepada Ketua Kelompok Kerja/Jawatan Kuasa Kerja Sosek Malindo Daerah Kalbar-Sarawak.  Ketua Kelompok Kerja bertanggungjawab kepada:
Asops Kasum TNI selaku Ketua Coordinated Operation Control Committee (COCC) dan Ketua Jawatan Kuasa Latihan Bersama (JKLB).
 Aster-Kaster TNI selaku Ketua Kelompok Kerja Sosek Malindo.
 Kabasamas selaku Ketua Kelompok Kerja SAR.
 Selanjutnya pertanggungjawaban diteruskan ke Kasum TNI selaku Ketua Staff Planning Committee (SPC) dan Panglima TNI selaku Ketua GBC.
BNPP Ternyata Belum Ada di Lapangan?
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan lembaga struktural dan bersifat permanen dengan 4 (empat) tugas, yaitu menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan dan melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Bayangkan dengan ketentuan seperti itu, BNPP mestinya sudah sangat bisa diharapkan akan mampu membawa perubahan ke kawasan perbatasan.

Membaca Strategi Perbatasan Jokowi



Bayangan kita tadinya, setelah adanya BNPP ini maka keterlibatan TNI sudah semestinya kembali ke “core business” mereka, TNI hanya akan menjadi pengelola dan pelaksana pertahanan negara. Begitu juga dengan K/L lainnya yang tadinya ikut memberi perhatian pada perbatasan tentu akan menginduk ke BNPP. Tetapi ternyata perubahan seperti itu belum juga muncul. Akibatnya malah  semakin tidak jelas siapa atau   lembaga mana yang mengelola wilayah perbatasan, siapa yang menangani kawasan perbatasan dan lembaga mana pula yang menangani Garis perbatasan. Semua ini  menjadikan penanganan wilayah perbatasan belum bisa berjalan optimal dan terpadu malah seringkali  terjadi tarik menarik kepentingan antar berbagai  pihak.

Timbulnya konflik antar berbagai pihak tersebut (baik horisontal mapun vertikal) tidak dapat dihindari dan kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya kebijakan yang tidak  saling mendukung atau  kurang sinkron satu sama lain. Misalnya belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara, baik melalui kerjasama ekonomi sub regional (Sosek Malindo dan BIMP-EAGA), konektivity Asean maupun dengan rencana Pembangunan Enam Koridor Nasional serta MP3E.

Peran Daerah Dalam Pengelolaan Perbatasan
Dalam mengelola wilayah  perbatasan, Pemerintah  Propinsi  Kalimantan Barat berpedoman  pada UU No.  24 Tahun 1992  tentang  Penataan  Ruang, PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional  (RTRWN), UU No. 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS, dan INPRES No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Strategi yang ditempuh  oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dalam mengelola wilayah perbatasan adalah dengan mengembangkan pusat-pusat  pertumbuhan  yang diharapkan menjadi pendorong pengembangan kawasan perbatasan secara keseluruhan. Pusat-pusat pertumbuhan tersebut meliputi:

Temajo (Kecamatan Paloh) dan Aruk (Kecamatan Sajingan  Besar) di Kabupaten Sambas.
 Jagoi Babang (Kecamatan Jagoi Babang) di Kabupaten Bengkayang.
 Entikong (Kecamatan Entikong) di Kabupaten Sanggau.
 Nanga Bayan (Kecamatan Ketungau Hulu) di Kabupaten Sintang.
Nanga Badau (Kecamatan Badau) di Kabupaten Kapuas Hulu.
Sesuai Idenya pengembangan pusat-pusat  pertumbuhan di atas dilakukan oleh BNPP. Sesuai rencananya pengembangan dimulai tahap pertama dari wilayah  Entikong pada tahun 2003, tahap kedua wilayah Nanga Badau yang dimulai pada  tahun 2004. Empat pusat pertumbuhan lainnya akan dikembangkan secara simultan pada tahap ketiga  yang rencananya akan dimulai  pada tahun 2005 dengan asumsi  telah tercapai kesepakatan antara Indonesia-Malaysia dan keberhasilan pada tahap pertama. Tetapi ternyata semua Ide itu masih sebatas ide.

Strategi selanjutnya adalah pengembangan Border Development Center (BDC) di Entikong. Pengembangan kawasan BDC ini dimaksudkan sebagai  pusat kegiatan  industri, jasa dan perdagangan, dan juga pusat pelatihan dan pelayanan tenaga kerja yang  terpadu dan mandiri yang dikelola oleh suatu kelembagaan yang profesional dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. BDC belum jelas, tetapi pemda Sarawak malah sudah mengembangkan Pelabuhan Darat Tebedu-yang terpadu dengan Pelabuhan dan bandara Internasional Kuching, Sarawak.

Permasalahan yang pada umumnya terjadi di wilayah perbatasan antara Propinsi Kalbar (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia) adalah terjadinya ketimpangan/kesenjangan keadaan sosial ekonomi antara penduduk  Kalbar dengan  Sarawak yang cukup besar. Menurut  informasinya memang  tingkat pendapatan penduduk Kalbar berkisar US$ 3000,  sedangkan  penduduk Sarawak mencapai US$ 14000. Permasalahan mendasar lainnya adalah terbatasnya infrastruktur wilayah seperti jalan, listrik, telekomunikasi, air bersih, serta terbatasnya fasilitas sosial ekonomi  seperti sarana kesehatan, pendidikan dan sebagainya.

Selama ini  terkesan bahwa Pemerintah Pusat, Propinsi maupun Kabupaten masih berjalan sendiri-sendiri. Dampak dari permasalahan tersebut berakibat pada minimnya sentuhan pembangunan sosial ekonomi di daerah perbatasan sehingga relatif tertinggal bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam menghadapi permasalahan  di wilayah  perbatasan, selama ini  penanganannya masih bersifat parsial, sektoral, skala kecil, normatif, dan  diperlakukan secara seragam.

Secara historis pendekatan kebijakan yang diterapkan dalam menangani  pembangunan daerah perbatasan lebih menekankan pada aspek keamanan (security approach) dan cenderung bernuansa sentralistik. Sebagai akibat dari minimnya kebijakan yang menyentuh wilayah  perbatasan, pembangunan kawasan perbatasan di Kalbar relatif terabaikan dan jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah perbatasan Sarawak.

Yang Ingin Kita Katakan

Pemerintah sudah membentuk BNPP, dan badan ini dengan segala keterbatasannya sudah membuat GRAND DESIGN pembangunan di wilayah/kawasan perbatasan, yang pada ujungnya kita kenal menghasilkan Lokasi-lokasi prioritas yang akan dibangun. Tetapi bagaimana jabaran dari pembangunannya di Lokasi prioritas ini? Sama sekali hanya mengandalkan pada kemauan Pemda setempat.


Padahal kita tahu wilayah perbatasan ini membutuhkan pembukaan keterisolasian yang mampu mengaitkannya dengan pola pembangunan nasional dan Asean; sayangnya Grand Design itu belum/tidak tersinergikan dengan Enam Koridor Pembangunan Ekonomi Nasional- tidak terkoneksikan dengan Konektivitas Asean. Tetapi satu hal yang ingin kita ingatkan adalah bahwa tradisi pengelolaan perbatasan ini dari sananya memang sudah seperti itu, dan meski organisasinya sudah diganti tetapi pola lama masih saja yang berlaku. Kalau perbatasannya bisa dibangun dengan sebagaimana mestinya, tentu tidak jadi masalah tetapi kalau sebaliknya maka itulah yang kita sayangkan, tradisi yang tidak “benar” itu ternyata masih saja berlanjut.




Negara Serumpun, Perbatasan Mestinya Justeru Pemersatu



Melihat Penetapan Dan Penegasan Perbatasan



Negara Serumpun, Perbatasan Mestinya Justeru Pemersatu

oleh harmen batubara

Hubungan Indonesia-Malaysia atau Hubungan Indonesia-Timor Leste atau Indonesia-Papua Newguinae mestinya harus jadi special atau khusus, karena memang negara ini adalah negara serumpun. Tidak perlu dicari perbedaannya, tetapi pada semangat penguatan ekonominya. Kawasan yang sejahtera, pastilah melahirkan rasa aman yang menyenangkan pula. Saya lalu ingat tulisan Asvi Warman Adam[1] pada 13 Oktober 2009 (Kompas)- Klaim seni-budaya dan teritorial selain masalah TKI menjadikan hubungan Indonesia-Malaysia memanas dari waktu ke waktu. Saat tertentu masalah ini mereda atau diimpit isu lain, tetapi muncul lagi pada saat lain.

Saat kasus blok Ambalat mencuat, sekelompok pemuda di Jawa Tengah mendaftarkan diri untuk diterjunkan di sana. Mereka mengira, Ambalat adalah pulau seperti Ligitan dan Sipadan. Padahal, terjun ke Ambalat berarti terjun ke laut. Berperang dengan Malaysia diserukan seorang tokoh masyarakat di layar televisi. Jika kita bertempur dengan Malaysia, kalah atau menang tetap rugi. Kalau kalah, jelas malu karena Malaysia lebih kecil daripada kita. Kalau menang, bukan prestasi.

Mengapa kita tidak berpikir sebaliknya, menggabungkan atau mengintegrasikan Malaysia dengan Indonesia; tentu saja tidak dengan invasi atau aneksasi, tetapi secara damai. Gagasan tentang Indonesia Raya yang mencakup bekas Hindia Belanda plus Semenanjung Melayu bukanlah hal baru karena ini sudah digagas seusai Perang Dunia II oleh Ibrahim Haji Yaacob yang kemudian dikenal di Indonesia dengan nama Iskandar Kamel. Ibrahim Haji Yaacob adalah seorang Melayu keturunan Bugis. Ia lahir 27 November 1911 di Kampung Tanjung Kertau, Temerloh, Pahang. Leluhurnya telah merantau ke Pahang awal abad ke-20. Saat bersekolah di Maktab Perguruan Sultan Idris tahun 1928-1931 di Tanjong Malim, Perak, guru-gurunya mengajarkan gerakan nasionalisme India, Mesir, Indonesia, dan Jepang. Ibrahim Yaacob membaca surat kabar yang datang dari Indonesia, seperti Persatuan Indonesia dan Fikiran Rakyat.

Tahun 1939 Ibrahim Yaacob dengan beberapa rekannya mendirikan Kesatuan Melayu Muda (KMM). Tahun 1940, pada usia 29 tahun Ibrahim menjelma sebagai nasionalis radikal yang mengagumi Soekarno. Pada 1941, dengan bantuan uang dari Konsul Jenderal Jepang di Singapura, Ibrahim membeli koran Melayu di Singapura Warta Malaya. Ketika meletus Perang Pasifik 7 Desember 1941, Ibrahim bersama 110 anggota KMM ditangkap Inggris. Namun, saat tentara Jepang mendarat di pantai timur Semenanjung Melayu, pemuda- pemuda dari KMM menjadi pandu penunjuk jalan dan juru bahasa bagi tentara Jepang. Jepang membentuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera dan Malaya dibentuk Giyugun. Ibrahim mendapat latihan enam bulan dan Juni 1944 dilantik sebagai Komandan Giyugun dengan pangkat letnan kolonel.blogging

Peristiwa Taiping 1945

Tahun 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membicarakan tapal batas negara, apakah bekas Hindia Belanda, atau Hindia Belanda ditambah Malaya, Niauw Guinea, Borneo Utara, dan Timor Portugal. Ataukah bekas Hindia Belanda minus Niauw Guinea. Muhammad Yamin menganjurkan alternatif kedua, yakni Indonesia Raya. Soekarno setuju dan pada pemungutan suara 39 dari 62 anggota Badan itu memilih Indonesia Raya. Namun, dalam UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945, wilayah Indonesia tidak dinyatakan eksplisit.

Pada 8 Agustus 1945, delegasi Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke Vietnam menemui Marsekal Terauchi. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, delegasi itu mampir di Taiping Perak. Di sana mereka bertemu Ibrahim Yaacob, yang memberitahukan kepada Soekarno dan Hatta bahwa orang-orang Melayu ingin mencapai kemerdekaan bagi Malaya dalam kerangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus.

Soekarno yang duduk di samping Hatta terharu oleh semangat Ibrahim Yaacob. Dijabatnya tangan Ibrahim, lalu berujar, ”Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan Indonesia.” Ibrahim menjawab, ”Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.”

Semua itu tidak pernah menjadi kenyataan. Jepang menyerah 15 Agustus 1945. PETA dan Giyugun dibubarkan Jepang. Cita-cita Indonesia Raya kandas. Tanggal 19 Agustus dengan pesawat Jepang, Ibrahim ke Jakarta bersama istrinya, Mariatun Haji Siraj, ipar Onan Haji Siraj, dan Hassan Hanan. Karena situasi di Semenanjung Melayu tidak aman, Soekarno menyarankan agar Ibrahim dan rekannya bergabung dalam perjuangan di Pulau Jawa untuk mencapai cita-cita Indonesia Raya.

Bulan November 1955, kurang lebih dua tahun sebelum Malaya merdeka, Tengku Abdul Rachman mengunjungi Jakarta atas undangan Presiden Soekarno. Secara informal Ibrahim Yaacob sempat dipertemukan dengan Tengku, tetapi pendirian mereka berlawanan. Tengku menginginkan Malaya merdeka dalam Commonwealth Inggris, sementara Ibrahim Yaacob menghendaki Malaya merdeka, bergabung di bawah Indonesia Raya. Tahun 1973 di bawah PM Tunku Abdul Razak, Ibrahim Yaacob dibolehkan berkunjung ke Malaysia.

Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno menunjuk Ibrahim Yaacob sebagai anggota MPRS mewakili Riau. Saat Soekarno jatuh pasca-Gerakan 30 September 1965, Ibrahim melepaskan diri dari kegiatan politik dan berkiprah dalam bidang swasta. Saat meninggal di Jakarta 8 Maret 1979, ia tercatat sebagai Direktur Utama Bank Pertiwi. Ibrahim Yaacob dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Integrasi kiranya lebih positif ketimbang konfrontasi meski bentuk/tingkat dan prosesnya perlu didiskusikan lebih lanjut.

Indonesia Masa Depan Malaysia
Saya kemudian ingat apa yang disampaikan kolumnis asal Malaysia, Karim Raslan, menyatakan bahwa pelaku bisnis dan politisi di negaranya mulai menyadari bahwa Indonesia adalah masa depan Malaysia. Oleh karena itu, mereka mulai mengubah pandangannya terhadap Indonesia.

Hal itu disampaikan Karim Raslan dalam diskusi bukunya berjudul Ceritalah Indonesia, Jumat (15/10/2010) malam di Yayasan Umar Kayam, Yogyakarta. Dalam diskusi, para peserta lebih banyak menanyakan pandangan Karim Raslan dan masyarakat Malaysia pada umumnya terhadap Indonesia. ”Banyak orang bisnis sadar bahwa negara yang punya potensi adalah negara besar. Makanya mereka merasa harus melihat Indonesia,” katanya.

Selain kalangan bisnis, kata dia, politisi di Malaysia juga menganggap penting hubungan dengan Indonesia. Ia berpendapat Indonesia adalah pentas penting bagi para politisi Malaysia. Hal itu bisa dilihat dari seringnya tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, berkunjung ke Indonesia. ”Kedekatan hubungan Anwar dengan tokoh penting di Indonesia membuat dia mengalahkan politisi lain,” katanya.

Buku yang didiskusikan ini berisi esai-esai Karim yang telah diterbitkan di sejumlah media, baik media di Indonesia maupun di luar Indonesia. Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, Budiawan, yang menjadi pembahas buku, menyatakan, Karim adalah sosok warga negara diaspora. Ia bisa menulis esai yang kritis tentang negerinya sendiri. 


Sumber : www.wilayahperbatasan.com,  January 1, 2014 /ARA/Kompas-18 Oktober 2010.

[1] Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI

Wilayah Perbatasan, Menghadirkan Indonesia di Perbatasan


Wilayah Perbatasan, Menghadirkan Indonesia di Perbatasan


Terus terang bagaimana negara kita membangun wilayah perbatasan hemat saya yang terasa hanyalah hiruk pikuknya. Kenapa saya katakan begitu? Bayangkan ada sebanyak 25 Kementerian/Lembaga yang terlibat dan dapat dana untuk melakukan pembangunan di perbatasan. Malah kini adalagi BNPP. Badan ini sesuai fungsinya mempunyai 4 tugas pokok  yaitu : Menetapkan kebijakan program pembangunan; menetapan rencana kebutuhan  anggaran;  mengkoordinasikan  pelaksanaan; serta melaksanakan evaluasi dan pengawasan. Tetapi adakah perubahan itu? Ya memang tentunya perubahan itu tidaklah sekedar membalikkan telapak tangan. Saya setuju itu tapi adakah aroma perubahan itu?

Terus terang yang kita rasakan adalah masih banyaknya program yang tidak nyambung, pola pembangunan yang sama dan merata, dan juga aroma penyalah gunaan dana-dana yang ada malah lebih gila dari sebelumnya. Lalu saya ingat bagaimana pada zaman Orde baru dahulu membangun wilayah perbatasan. Yang menonjol adalah Papan-papan nama Instansinya yang lengkap dan ada secara mencolok di desa-desa perbatasan. Tetapi terus terang ya hanya papan nama itu, sementara petugasnya tetap di kabupaten atau di provinsi, mereka dapat gaji seperti biasa tetapi tanpa melaksanakan tugasnya di wilayah perbatasan.

Setelah reformasi ada memang perubahan secara drastis-pemerintah membangun hampir semua gedung-gedung yang memang semestinya di bangun, tetapi sekali lagi hanya gedung-gedungnya saja.Sementara Isinya, personilnya kosong semata. Cobalah misalnya ke Seluas, lihat gedung yang dibangun oleh Kemhan di sana megahnya bukan main-tapi sama sekali tidak ada pengawaknya-kini gedung yang megah itu sudah hampir 6 tahun, dan sebentar lagi akan muspro. Begitu juga dengan gedung gedung sekolah-ya sudah dibangun dalam julam yang banyak tapi tanpa guru dan tanpa buku.

Wilayah Perbatasan Di Mata LIPI
Pada tahun 2013 BNPP telah mengajak LIPI untuk meneliti rasa keindonesiaan diwilayah perbatasan. Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP), Tim penelitian ini dipimpin Forman Noor dkk. Adapun   lokasi penelitiannya berada di wilayah Kabupaten  Malinau (Kecamatan Kayan Hulu, Desa Long Nawang), kemudian Kabupaten Nunukan (Kecamatan Krayan, Desa long Bawan), dan Kota Tarakan.

Pendekatan yang digunakan dalam menakar kebangsaan dalam kajian ini, mengacu pandangan  ERNEST RENAN dengan bukunya What is Nation? (1990),  yang  menjelaskan bahwa nasion merupakan kesadaran untuk bersatu tanpa paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah kepentingan kolektif yang dianggap luhur. Makna kebangsaan tidak dipahami dalam wujud kesamaan budaya dan identitas, tetapi lebih kepada kesamaan melihat masa depan dan cita-cita membentuk sebuah bangsa yang jauh dari keterpaksaan setiap anggota yang ada di dalamnya.

Tim LIPI  sendiri dalam kajiannya menyebutkan bahwa,    nasionalisme adalah kemauan untuk rela bersatu atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan. Dalam pengertian di atas, tim dengan tegas menekankan bahwa keindonesiaan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi serta tetap mengikutsertakan nilai-nilai ketuhanan dan persatuan.

Ekspresi, Persepsi dan Wawasan Kebangsaan
Lalu seperti apakah nilai-nilai keindonesiaan yang masih hadir di masa sekarang dalam keseharian masyarakat Indonesia? Terutama dalam lingkungan masyarakat perbatasan?  Tim LIPI yakin, di tengah-tengah ketidakadilan dan kehidupan yang jauh dari kemakmuran sebagaimana yang dicita-citakan oleh founding fathers; maka menakar rasa keindonesiaan masyarakat perbatasan tentulah tidak mudah namun juga bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.

Bebeberapa aspek penting yang dicermati Tim LIPI, yaitu, ekspresi, persepsi dan wawasan kebangsaan masyarakat setempat, kemudian bagaimana persepsi dan eskpresi ke-Indonesia-an itu hadir dalam keseharian. Lalu seperti apa upaya-upaya yang telah dan tengah berlangsung dalam menumbuhkan dan memelihara nilai keindonesiaan tersebut.

Ekspresi kebangsaan masih ditemukan di dua lokasi penelitian meski terasa lebih kental pada lapisan permukaan. Untuk pengetahuan mengenai lambang-lambang negara yang sifatnya lebih permanen, seperti BENDERA, LAGU KEBANGSAAN, HARI KEMERDEKAAN, PAHLAWAN NASIONAL, pengetahuan masyarakat cukup memadai. Namun lambang negara yang lebih bersifat periodik keberadaannya, seperti KEPALA NEGARA, KEPALA PEMERINTAHAN DAERAH dan lainnya malah tidak dikenal dengan cukup baik.

Tim LIPI mencermati  di desa Long Bawan, bagaimana anak-anak usia sekolah mengalami kebingungan ketika ditanyakan siapa nama Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia saat ini – sebuah pengetahuan yang harusnya lazim diketahui oleh bangsa ini. Padahal lambang negara berupa bendera merah putih juga banyak ditemukan di setiap bangunan. Tidak hanya di bangunan-bangunan milik pemerintah, melainkan juga pada milik adat dan milik perorangan warga. Merah putih selalu mendapatkan tempat khusus dan terhormat dalam keseharian masyarakat Long Nawang dan Long Bawan. Tidak hanya dalam acara-acara yang berhubungan dengan pemerintahan, namun acara adat sekalipun mereka selalu menempatkan merah putih sebagai bagian dalam semua bentuk kegiatannya.

Keberadaan desa mereka yang merupakan bagian rumah besar Indonesia juga amat disadari oleh masyarakatnya. Indonesia adalah tempat mereka bernaung hingga akhir hayatnya, dalam hal ini terbersit makna tidak adanya keinginan untuk “pindah rumah” di dalam hati warga perbatasan. Hampir semua mengetahui bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia dan Pulau Kalimantan. Namun, sayangnya, untuk anak-anak usia sekolah sekalipun pengetahuan keberadaan ini tidak diiringi pengetahuan yang baik dalam pemahaman geografisnya. Hal ini terbukti ketika mereka diminta menunjukkan pulau Kalimantan dalam peta Indonesia, mereka justru kebingungan.

Hal lain yang memperlihatkan bahwa nuansa keindonesiaan itu masih ada adalah semangat yang tinggi dari masyarakat untuk merayakan hari kemerdekaan RI, 17 Agustus, setiap tahunnya.  Kemeriahan perayaannya melebihi kemeriahan perayaan hari besar agama mayoritas yang mereka anut, Kristen. Kondisi ini berlangsung sama antara desa Long Nawang dan Long Bawan.

Keinginan untuk menjadikan wilayah mereka menjadi terdengar dan diketahui keberadaannya oleh wilayah lain di Indonesia begitu menggebu, dengan sebuah rekor pembuatan makanan tradisional terbanyak dalam perayaan HUT RI. Kehendak untuk memecahkan rekor ini, secara tidak langsung menunjukkan adanya usaha masyarakat perbatasan untuk menunjukkan eksistensi nya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Tim P2LP LIPI, sangat yakin Fenomena yang positif untuk ekspresi dan persepsi kebangsaan tersebut, dapat menjadi sebuah harapan untuk keberlangsungan keindonesiaan di perbatasan. Namun, hal ini hanya terlihat baik di permukaan. Dua frasa berbeda namun dalam pengertian yang sama digunakan dalam menggambarkan rasa keindonesiaan yang tampak baik dipermukaan ini,  yaitu, “BANGUN KEINDONESIAAN YANG RINGKIH” dan “SEBUAH EKSISTENSI SEMU KEINDONESIAAN DI KRAYAN”.

Keindonesiaan dalam Bingkai Perbatasan
Menjadi Indonesia yang seutuhnya dilihat dalam wujud penggunaan produk dalam negeri bagi masyarakat perbatasan, bukanlah hal yang mudah dan mestinya bukanlah suatu patokan. Sulitnya bahan kebutuhan pokok yang merupakan hasil bumi membuat mereka memiliki ketergantungan yang cukup kuat terhadap negeri jiran. Meskipun produk dalam negeri itu ada, namun jumlah ketersediaan produk dari Malaysia merupakan sesuatu hal yang lumrah di sini, tidak terkecuali mata uang yang dijadikan sebagai alat jual beli juga cukup didominasi oleh Ringgit.

Hal seperti ini sesungguhnya adalah suatu prose salami semata. Dekatnya jarak tempuh untuk membeli bahan-bahan tersebut, membuat harga barang barang tersebut jauh lebih murah jika dibandingkan dari produk dari Tarakan. Jadi adalah sesuatu yang wajar bila barang-barang produk Malaysia dengan mudah ditemukan dirumah rakyat, juga di rumah para pejabat daerah di wilayah tersebut. Tidak terbersit sebuah rasa bersalah ketika mereka lebih memilih menggunakan produk Malaysia dan  bahkan lebih mengenal mata uang ringgit dibandingkan dengan hal-hal yang bernuansakan Indonesia. Mereka mengakui bahwa pemanfaatan tesebut semata-mata hanya karena keterbatasan kehadiran produk Indonesia dan kenyataan bahwa harga produk jiran yang lebih terjangkau di desa mereka.

Ketergantungan terhadap negeri jiran tidak hanya berhenti pada penggunaan produk-produknya, tetapi juga pada persoalan sumber penghasilan. Cukup banyak warga desa Long Nawang dan Long Bawan yang bekerja di Malaysia, terutama di wilayah perbatasan. Mengingat roda perekonomian didaerah-daerah tetangga tersebut berputar lebih baik dibandingkan diwilayahnya sendiri. Jenis pekerjaan pun mereka nilai lebih beragam.

Keakraban atas produk jiran di perbatasan, ternyata tidak semata hanya berdasarkan alasan ekonomi semata. Tetapi lebih daripada itu, kebanggaan atas penggunaannya. Seperti ditemukan pada siswa sekolah di Long Bawan, penggunaan alat-alat sekolah yang bernuansakan Malaysia lebih membanggakan bagi mereka. Hal yang cukup sederhana jika dilihat sekilas, namun justru ini menjadi satu dari sekian banyak potret mengkhawatirkan mengenai persepsi anak usia sekolah tentang apa itu kebanggaan menggunakan produk dalam negeri. Anak-anak tersebut tidak merekam dengan baik ke-Indonesia-an dalam benak mereka, sebagai bekal mereka nanti dalam proses penemuan jati diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Keberadaan nilai-nilai keindonesiaan di dua wilayah ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai adat yang dipegang teguh oleh masyarakatnya. Mayoritas penduduk di Long Nawang dan Long Bawan adalah suku Dayak. Masyarakat di sini amat dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai adatnya. Lalu apa hubungannya nilai adat tersebut dengan nilai keindonesiaan?

Temuan Tim LIPI memperlihatkan bahwa aturan adat yang ketat telah membuat perasaan untuk tetap terikat menjadi bangsa Indonesia  terpelihara hingga saat ini. Aturan tersebut menyatakan bahwa anggota suku akan kehilangan haknya atas tanah mereka jika mereka meninggalkan desa tersebut. Walau demikian, tidak sedikit masyarakat yang pada akhirnya memutuskan untuk pindah ke wilayah tetangga, dengan alasan pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Pada satu sisi pengaruh adat seperti ini berdampak positif untuk membuat masyarakat tetap tinggal diwilayah Indonesia. Namun disisi lain, keputusan masyarakat untuk tinggal tidak memberikan sumbangan harapan besar dalam hal bangunan keindonesiaan yang kokoh dihatinya. Karena keputusan itu lebih bersifat pragmatis daripada didasarkan pada nilai luhur keindonesiaan itu sendiri, mengingat ada keterpaksaan yang samar terlihat di sana dengan adanya aturan adat tersebut.

Di samping itu, tetua adat juga memiliki peran besar dalam membangun pondasi keindonesiaan. Para tetua adat yang ada selama ini merupakan pihak yang selalu memberikan penyadaran akan posisi mereka dalam ranah keindonesiaan. Tentunya ini sangat membantu negara dalam menumbuhkan dan merawat rasa kebangsaan itu didalam benak masyarakat. Namun, kembali hal ini menjadi suatu manfaat yang juga memiliki kemanfaatan yang tidak pasti. Pasalnya, selama ini tetua adat yang ada selalu berada pada poros bangunan rumah Indonesia.

Mungkin akan berbeda ceritanya jika tetua adat yang bersangkutan adalah pihak yang tidak mendukung upaya membangun rasa keindonesiaan ditengah-tengah masyarakatnya. Ketergantungan yang kuat pada tetua adat ini pada akhirnya memiliki dua sisi mata uang. Disatu sisi memberikan dampak positif ketika tetua adat adalah pihak yang mendukung keberadaan ”rumah Indonesia”. Kondisi ini disisi lain juga memberikan dampak negatif, karena tiap warga tidak memiliki independensi untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan identitasnya politiknya.

Upaya Membuka Keterisolian
Sekalipun diakui telah banyak upaya Pemerintah yang dilakukan di perbatasan, khususnya di dua desa tersebut, namun Tim LIPI mencermati masih belum mengenai sasaran dan dirasakan masyarakat perbatasan. Masalah utama dalam mengakrabkan masyarakat perbatasan Indonesia  dengan keindonesiaan adalah jarak yang jauh, dalam arti sebenarnya maupun dalam hubungan komunikasi, antara desa mereka dengan desa-desa lainnya. Dengan kata lain, membuka keterisoliran yang mereka rasakan selama ini sebagai kebutuhan dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat.

Pada sektor transportasi, baik didesa Long Nawang dan Long Bawan, jalur darat telah mulai dibangun. Baik itu pembangunan jalan, jembatan dan infrastruktur lainnya. Jalur udara pun mendapatkan perhatian dari pemerintah melalui subsidi harga tiket penerbangan, yang dalam hal ini adalah pesawat dengan ukuran kecil (kurang lebih untuk 6 hingga 10 orang penumpang). Namun, Tim LIPI menilai,   jalur udara belum mampu memberikan perubahan banyak dalam hal memasok kebutuhan pokok masyarakat, karena keterbatasan yang dimiliki oleh moda transportasi ini. Begitupun jalur darat yang belum bisa dilalui oleh kendaraan besar dan belum secara merata dalam kondisi layak tempuh.

Usaha membebaskan masyarakat perbatasan dari keterisoliran juga dilakukan dengan membangun jembatan komunikasi. Menara-menara pemancar telah banyak dibangun didaerah tersebut, namun sayangnya pemancar ini belum berfungsi. Perbaikan dalam hal infrastruktur pendidikan dan kesehatan pun tidak luput dilakukan. Namun, Tim LIPI mengamati, perbaikan infrastruktur ini dirasakan tidak terlalu menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat.

Misalnya meskipun gedung sekolah sudah dalam kategori sangat layak digunakan, namun guru yang memiliki tingkat pendidikan yang baik dan konsistensi yang tinggi dalam profesinya justru tidak ada. Padahal, guru justru menjadi harapan bagi negara untuk bisa memberikan pendidikan wawasan kebangsaan bagi anak-anak yang nantinya akan menjadi penerus bangsa ini.

Begitupun halnya dengan sarana puskesmas yang ada di dua desa ini. Gedung dan peralatan medis yang disediakan berada pada kategori yang baik, namun tidak tersedianya tenaga dokter selama 24 jam. Kemampuan tenaga medis yang sangat terbatas, membuat peralatan medis tersebut hanya menjadi hiasan untuk membuat puskesmas terlihat lebih baik dari sebelumnya.




Pembangunan yang baik tentunya tidak hanya menyentuh fisik (infrastruktur) saja. Ada banyak hal yang mampu mendukung pembangunan fisik tersebut menjadi hidup dan bermanfaat. Apalah artinya sebuah puskesmas jika tidak tersedia dokter dan bahkan obat-obatan di sana. Perpustakaan tanpa buku pada akhirnya juga hanya akan menjadi bangunan tua yang lama kelamaan hancur ditelan oleh pergantian cuaca. Anak-anak pun bersekolah tanpa mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, dikarenakan terbatasnya buku-buku pelajaran. Kondisi-kondisi ini, yang menurut Tim LIPI,  membuat masyarakat diperbatasan benar-benar tidak merasakan kehadiran Negara (Indonesia) dalam kehidupan mereka.
Catatan : Tulisan ini diambil dari www.wilayahperbatasan.com atas seijin otoritasnya-http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-menhgadirkan-indonesia-di-perbatasan/