BumDes &BUMN
Bersinergi Indonesia Sejahtera
Oleh harmen batubara
Pemerintah sesuai
dengan UU Desa secara nyata telah mengalokasikan Dana ke Desa dalam jumlah yang
belum terbayangkan selama ini. Pada 2015 total Dana Desa Rp 20,7 triliun
(dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke 74.754 desa);
dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910 desa).
Penyerapan Dana Desa tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen
dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu
mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian
luas. Nah yang lebih menggembirakan lagi adalah Desa Nusantara ternyata
memiliki modal social yang juga tergolong terbaik yang pernah ada.
Secara empirik Desa
jadi menarik didiskusikan karena dua misteri modal sosial di Indonesia yang
sungguh berbeda dengan keyakinan teoritik. Pertama, desa-desa di Indonesia
sebenarnya sangat kaya modal sosial tetapi juga rentan secara sosial. Di satu
sisi masyarakat desa sudah lama mempunyai beragam ikatan sosial dan solidaritas
sosial yang kuat, sebagai penyangga penting kegiatan pemerintahan, pembangunan
dan kemasyarakatan. Swadaya dan gotong royong telah terbukti sebagai penyangga
utama “otonomi asli” desa. Ketika kapasitas negara tidak sanggup menjangkau
sampai level desa, swadaya dan gotong royong merupakan sebuah alternatif
permanen yang memungkinkan berbagai proyek pembangunan prasarana desa
tercukupi. Di luar swadaya dan gotong-royong, masyarakat desa mempunyai tradisi
to¬long-tolong menolong, bahu-membahu dan saling membantu antar sesama, apalagi
ketika terjadi musibah yang mereka lihat secara dekat.
Tetapi di balik ikatan
sosial dan solidaritas sosial yang menyenangkan itu, masyarakat desa sering
menghadapi berbagai kerentanan sosial (social vulnerability) yang menyedihkan,
bahkan bisa melumpuhkan ketahanan sosial (social security) mereka. Status desa
condong menjadi sekadar ”ruang hidup sementara”, yang sewaktu-waktu bisa dibongkar,
digusur, dan bahkan dihapuskan ketika negara atau korporasi membutuhkannya
untuk dieksploitasi dan dikonversi menjadi ruang ekstraktif demi peningkatan
pendapatan. Indikasinya, desa-desa penuh dengan izin investasi pertambangan,
perkebunan sawit, properti, atau izin eksploitatif lainnya. Desa menjadi area
perebutan sumber daya alam dan arena konflik agraria.
Langkah Perubahan Di
Desa
Malah seperti kata Sri
Palupi[1] Area desa bisa dengan mudah
berpindah menjadi area konsesi korporasi atau lokus proyek strategis
pemerintah, sementara warganya tak berdaya ketika dipaksa melepaskan hak mereka
atas lahan dan ruang kehidupannya. Desa-desa di lingkar industri pertambangan
dan perkebunan sawit, misalnya, kebanyakan warganya kehilangan lahan dan
berubah status dari petani mandiri menjadi buruh. Ada desa yang keberadaannya
dihapuskan karena areanya dikuasai korporasi atau menjadi lokus proyek
strategis pemerintah. Bahkan desa-desa yang lahan pertaniannya sudah
bersertifikat sekalipun, warganya bisa dengan mudah kehilangan haknya. Juga ada
banyak desa yang kehilangan sebagian atau seluruh ruang hidupnya karena
pemerintah secara sewenang-wenang menetapkan wilayah desa sebagai kawasan
hutan. Padahal, warga sudah tinggal di desanya jauh sebelum republik ini
berdiri. Ada lebih dari 30.000 desa yang berada di kawasan hutan tanpa akses
atas sumber daya agraria.
Ketahanan sosial
masyarakat desa kerapkali sangat rentan ketika menghadapi gempuran dari luar,
mulai dari regulasi dan kebijakan pemerintah, proyek pembangunan, wabah
penyakit menular, narkoba, bencana alam, kekeringan, dan masih banyak lagi.
Bahkan bantuan dari pemerintah seperti BLT kompensasi BBM juga memunculkan
kerawanan sosial dalam masyarakat, misalnya dalam bentuk pertikaian antara
warga dan aparat setempat.
Kedua, desa kaya modal
sosial tetapi tidak kaya modal ekonomi. Dengan kalimat lain, modal sosial itu
tidak mengalami transformasi menjadi modal ekonomi. Studi Edward Miguel, Paul
Gertler, dan David I. Levine (2005) di 274 daerah industri di Indonesia, misalnya,
menunjukkan bahwa modal sosial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
pertumbuhan industri. Karena itu, wajar jika Prof. Robert Lawang, pernah
mengajukan pertanyaan: mengapa modal sosial yang kaya tidak menghasilkan modal
ekonomi?
Tetapi sepertinya
semua itu kini sudah pasti akan berbeda, dan ini tidak lepas dari Strategi
Pembangunan Desa Jokowi. Terutama setelah munculnya politik pembangunan desa[2]
yang ditandai oleh kelahiran UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 segera menyergap
menjadi kesadaran dan harapan baru atas kejumudan kemajuan desa. Pembangunan
tak lagi sekadar dirayakan sebagai turunnya daftar proyek yang dikerjakan di
desa, tetapi dipestakan atas kedaulatan desa dalam merumuskan dan memutuskan
masa depannya sendiri. Di masa silam, desa dan warganya menonton dengan khidmat
deru pembangunan dari pagar rumah sambil berharap proyek itu tak menjadi
onggokan monumen karena tidak bersenyawa dengan kebutuhan warga.
UU yang baru
memastikan dikuburnya model itu karena desa memiliki kewenangan untuk
menegakkan kedaulatannya. Dua otoritas vital yang dipunyai desa itu adalah
kewenangan lokal berskala desa (subsidiaritas) dan kewenangan hak asal usul
(rekognisi). Demikian pula proses pembangunan meletakkan warga sebagai
partisipan gerakan, di mana musyawarah desa (musdes) menjadi forum tertinggi
dalam mengambil keputusan. Pelan-pelan literasi politik diperkuat agar warga
sadar atas kekuasaan yang dimilikinya.
Kewenangan lokal
berskala desa sebetulnya menjadi bahasa desentralisasi dalam literatur ekonomi
dan politik. UU Desa telah mendesentralisasikan urusan pembangunan sampai ke
level pemerintahan desa, bukan cuma di kabupaten. Asas subsidiaritas ini
memberikan ruang penuh bagi desa memutuskan serta menyelenggarakan pembangunan
dan pemberdayaan selama berada dalam skala desa. Jika desa berderu dengan aneka
program pembangunan, itu tak lagi monopoli keputusan pemerintahan di atasnya
dalam memasok kebutuhan program, tetapi hasil dari sikap kolektif warga yang
dirangkum dalam proses musdes.
Tak dibenarkan
pemangku kepentingan lain, termasuk pusat, mengambil arena kewenangan itu
karena keberadaannya diproteksi UU. Kewenangan ini menahbiskan desa sebagai
pemegang otoritas untuk menjaga suara dan daya hidup warganya di lapangan
politik, di mana partisipasi memiliki bobot penuh karena dilatari kewenangan
mengambil keputusan, bukan sekadar mengerjakan program.
Kewenangan hak
asal-usul menjadikan desa lebih tangguh lagi karena pilar terpenting desa
sebetulnya terletak pada tiang pancang sosial. Desa hidup berdasarkan dinamika
norma, budaya, adat, keyakinan, dan agama yang menjadi mata air pengetahuan
serta konsensus dalam menjaga kehidupan bersama. Desa di masa lalu
mengendalikan seluruh perkara kehidupan bersandarkan pada aturan main informal
tersebut sebelum tahap demi tahap direnggut oleh formula aturan main formal
(hukum negara). Desa dapat mengelola harmoni hidup secara ritmis karena mereka
adalah agregasi komunitas yang terpaut dengan nilai-nilai setempat. Ini beda
halnya dengan desa masa kini yang digiring menjadi unit administrasi
pemerintahan sehingga seluruh aturan perilaku hidup mesti dikelola dengan hukum
formal yang kadang jauh dari nilai adat desa.
Implikasinya, salah
satu tiang penyangga roboh dan “surau” desa menjadi nyaris ambruk. Untungnya,
jaminan penyelenggaraan asas rekognisi ini mendirikan kembali pilar tersebut
sehingga desa tegak lagi. Kemenangan merawat kekayaan ini akan menjadi penanda
kekuatan bantalan sosial desa. Desa punya daya hidup!
Aneka kewenangan
penting itu tak akan menjelma jadi daya dorong perubahan jika tak disertai
sumber daya. Itulah yang dibaca oleh pemerintah sehingga politik fiskal digeser
dengan memberikan instrumen “dana transfer” ke desa, yang disebut dana desa
(DD). Desa yang telah memiliki otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa
mengelola anggaran sendiri (anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa)
dengan salah satu sumbernya dari DD (di samping enam sumber lain).
Pada 2015 total DD Rp
20,7 triliun (dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke
74.754 desa); dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910
desa). Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen
dan tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu
mapan, sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian
luas.
Sejauh yang sudah
tercapai selama dua tahun pelaksanaan program DD ini, sekurangnya lima hal
pokok telah dirasakan di lapangan. Pertama, desa berdenyut kembali dalam
kegairahan pembangunan yang ditandai oleh maraknya kegiatan musdes dan
keterlibatan warga dalam perencanaan sampai eksekusi pembangunan. Salah satu
pemandangan lazim saat ini, warga desa berkerumun membahas aneka ikhtiar pembangunan
dan pemberdayaan, seperti inisiasi pasar desa atau pembentukan badan usaha
milik desa (BUMDesa).
Kedua, transparansi
anggaran menjadi keniscayaan baru sebagai bagian dari akuntabilitas penyelenggara
pemerintahan desa. Di balai desa dipasang baliho APBDesa, demikian pula di
lokasi-lokasi strategis atau sarana ibadah. Desa telah memberikan jawaban
kontan atas kepercayaan yang diberikan. Ketiga, keswadayaan dan gotong royong
terlihat kokoh karena seluruh program harus dijalankan secara swakelola, tak
boleh diberikan kepada pihak ketiga. Tak jarang, warga desa menyumbangkan apa
pun yang dimiliki agar pembangunan berjalan paripurna, misalnya tenaga, tanah,
rumah, dan aset fisik lain.
Keempat, ongkos
pembangunan menjadi amat murah karena dikerjakan oleh warga desa dengan
semangat keguyuban tanpa harus mengorbankan kualitas. Pada 2016 saja telah
terbangun hampir 67.000 kilometer (km) jalan, jembatan 511,9 km, MCK 37.368
unit, air bersih 16.295 unit, dan PAUD 11.926 unit. DD juga dimanfaatkan untuk
posyandu 7.524 unit, polindes 3.133 unit, dan sumur 14.034 unit. DD juga
digunakan untuk membangun tambatan perahu 1.373 unit, pasar desa 1.819 unit,
embung 686 unit, drainase 65.998 unit, irigasi 12.596 unit, penahan tanah
38.184 unit, dan ribuan BUMDesa (PPMD, 2017). Dengan menggunakan ukuran apa
pun, efisiensi DD sangat mengagumkan.
Kelima, munculnya
aneka upaya untuk memperkuat kapasitas warga dan pemberdayaan lestari dengan
basis budaya dan pengetahuan lokal. Banyak desa yang menginisiasi munculnya
sekolah desa, sekolah perempuan, peraturan desa untuk memproteksi sumber daya
alam dan ekologi, pembuatan almanak desa, balai rakyat, dan masih banyak lagi
prakarsa menggetarkan di desa. DD bukan cuma dirayakan sebagai tradisi
penyerapan anggaran, melainkan aktivitas berdesa yang mengendap dalam jantung
kesadaran kedaulatan desa. Desa kini tengah Mengukir Sejarahnya.
Sinergi BumDes dan BUMN
Dalam rencananya Kementerian
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang akan membentuk holding company BUMDes
skala nasional. Menteri Desa Eko Putro Sandjojo mengatakan pembentukan holding
BUMDes ini untuk mendorong pengembangan ekonomi desa secara merata.
"BUMDes ini, supaya bisa berkembang, maka kita akan bentuk holding di
tingkat nasional. Supaya bisa mendapatkan pendampingan yang sama. Karena BUMDes
yang sukses punya resources (sumber daya)," ujarnya. BUMDes merupakan
badan usaha di mana seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki desa melalui
penyertaan secara langsung dari kekayaan desa yang dipisahkan.
Ia mengatakan saat ini
konsep Holding BUMDes tingkat nasional masih dibahas bersama Kementerian Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, BUMN lebih ahli dalam pembentukan sebuah
korporasi."Kita sekarang dibantu BUMN menargetkan 1.500 BUMDes per tahun,
tapi itu kan lama. Dengan kita bikin holding BUMDes, tiap desa punya jaminan
ada KPI (Key Performance Indikators/indikator kinerja) masing-masing,"
katanya waktu itu.
Selain pendampingan,
holding BUMDes skala nasional juga untuk membangun jaringan antar desa. Holding
BUMDes nantinya akan mengkoordinasi 75 ribu BUMDes. Setiap BUMDes sedikitnya
membawahi 5 koperasi. Dengan perkembangan BUMDes di "Bumi Gora" yang
cukup menggembirakan impian untuk menjadikan BUMDes sebagai "holding
company" akan dapat diwujudkan
[1] Sri Palupi, Refleksi Tiga Tahun UU Desa,
Kompas.id, 14 Februari 2018 [2] Ahmad Erani Yustika, Proklamasi Pembangun Desa, kompas.id, 23
oktober 2017. Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa/PPMD
(2015-2017); Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi
No comments:
Post a Comment