Pengamanan & Pertahanan
Di Perbatasan
Oleh Harmen Batubara
Badan Nasional Pengelola
Perbatasan[1]
(BNPP) menggelar Rapat Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara
(Rakornas Pamtas) Tahun 2020. Acara diselenggarakan di Ballroom Hotel Pullman
Lt. L Central Park Podomoro City, Jakarta Barat, Rabu (11/03/2020). Maksud dan tujuan dari pelaksanaan Rakornas
Pamtas 2020 ini adalah memberikan pemahaman tentang arah kebijakan dan strategi
pengamanan perbatasan negara serta menemukan permasalahan-permasalahan
pengelolaan batas wilayah negara dan lintas batas negara sebagai dasar
perumusan dan kebijakan untuk mewujudkan sistem pengamanan perbatasan negara
terpadu menuju perbatasan negara yang aman, tertib, dan dinamis.
Dalam keynote speech-nya,
Tito Karnavian menyatakan salah satu isu yang di bahas dalam Rakornas Pamtas
ini adalah langkah sinergis seperti apa yang harus dilakukan menyingkapi
banyaknya temuan aktivitas lintas batas ilegal yang keluar masuk Indonesia
tanpa melalui prosedur formal. Setidaknya terdapat sebelas (11) permasalahan
utama dalam pengamanan kawasan perbatasan di luar kejahatan lintas batas
negara, yakni: Pertama, masih
Lemahnya Pengawasan di Kawasan Perbatasan. Kedua,
masih banyak jalur lintas negara illegal baik barang, narkoba maupun manusia. Ketiga, masih terjadinya penjualan dan
pembelian bahan bakar minyak secara illegal antara kapal besar dengan kapal
kecil;
Selanjutnya, keempat, adanya kapal peti kemas dari
luar negeri yang membuang limbah B3 di lautan Indonesia. Kelima, banyaknya pelabuhan tradisional yang rawan dijadikan lokasi
penyelundupan. Keenam, keterbatasan
pengetahuan nelayan tradisional tentang batas wilayah negara sehingga banyak
nelayan yang ditangkap kepolisian negara tetangga; Ketujuh, kurangnya prasarana Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di
berbagai wilayah panai/Perbatasan laut sehingga banyak nelayan tidak mendapat
nilai ekonomis dan hasil laut. Kedelapan,
belum maksimalnya kerjasama antar Kementerian/Lembaga dalam menangani kejahatan
Lintas Negara. Kesembilan, kurangnya
jumlah personel di wilayah perbatasan dan masih terbatasnya sarpras pencegahan
Lintas Negara. Kesepuluh, banyaknya
peraturan dan undang-undang terkait Perbatasan yang tumpang tindih kewenangan
K/L; dan kesebelas, belum
maksimalnya kerjasama antar aparat penegak hukum di perbatasan.
“Ada beberapa persoalan yang
kita hadapi dalam mengelola perbatasan kita, baik di darat, laut, maupun udara.
Di darat belum selesainya penetapan dan penegasan batas wilayah negara dengan
negara tetangga pada beberapa segmen. Jadi, ada batas-batas darat yang belum
selesai, belum disepakati dengan negara tetangga kita, belum maksimalnya
pengawasan tanda batas negara, patok-patoknya ini belum jelas, dan juga
pemeliharaannya,” ujarnya.
Di samping itu, Tito juga
menyoroti diplomasi dengan negara tetangga perbatasan untuk menentukan batas
wilayah negara. Menurutnya, batas wilayah negara perlu dipertegas dan penegasan
tersebut harus dilakukan secara maksimal. Kemudian diplomasi perbatasan dengan
daerah tetangga belum maksimal. Untuk masalah laut dan udara belum tuntasnya
batas laut dengan negara tetangga. Ada 10 negara tetangga, baik laut
teritorial, batas ZEE dan landasan contingent, kemudian belum selesainya
penetapan batas udara Indonesia dengan negara tetangga terutama masalah FIR
(Flight Information Region),” paparnya.Tak kalah pentingnya adalah yang terkait
dengan sarana dan prasarana di kawasan perbatasan yang dapat menunjang aspek keamanan.
Untuk itu, ia mendorong adanya teknologi dan terpadunya sistem pengamanan untuk
melindungi batas negara.
“Di bidang pengamanan juga
ada beberapa strategis sarana prasarana pengamanan kawasan perbatasan baik
darat maupun laut. Jumlah pos pengaman perbatasan kuantitasnya kurang. Tidak
sepadan dengan daerah yang harus diawasi panjangnya, kemudian teknologinya juga
belum advance. Jadi lebih banyak menggunakan cara manual, kemudian belum
terpadunya sistem pengawasan aktivitas lintas batas pada jalur non resmi, non
PLBN, dan resmi tapi bukan PLBN, belum terbangun sistem perbatasan yang
betul-betul terpadu, integrated border security system ini belum,”
terangnya.
Padahal, persoalan
kesejahteraan di kawasan perbatasan merupakan suatu hal yang tak terelakan.
Negara, juga perlu hadir di kawasan perbatasan dengan menjadikan perbatasan
sebagai peluang bagi terbuka luasnya kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
“Persoalan lain di daerah perbatasan adalah masih rendahnya tingkat
kesejahteraan sebagian besar wilayah perbatasan, menjadi daerah yang banyak
tertinggal. Misalnya masalah kemiskinan, penduduk miskin ini cukup banyak di
beberapa wilayah, meskipun ada beberapa daerah cukup baik,” kata Mendagri.
Kita ingin agar pemerintah memprioritaskan
pembangunan di wilayah perbatasan dengan maksud menjadikannya “kota-kota khusus
perbatasan”, yang memiliki karakter sebagai wilayah pertahanan (daerah teritori
perbatasan atau frontier yang dipersiapkan agar mampu berperan melaksanakan
upaya pertahanan negara), adalah sebuah pilihan. Untuk mewujudkan rasa cinta di
perbatasan suatu negara, diperlukan adanya sebuah aksi bersama yang meliputi:
Penyelesaian penegasan batas baik di darat maupun di laut, membangun
perekonomian perbatasan dengan jalan menyediakan berbagai infrastruktur yang
diperlukan serta mempersiapkan sistem pertahanan wilayah perbatasan yang
terintegrasi dengan pertahanan dan keamanan nasional. Hal seperti itu tentu
tetap memrlukan waktu.
Terkait dengan
Pembangunan Infrastruktur di wilayah perbatasan, secara fakta sebenarnya sudah
ada program pembangunan yang masing-masing di miliki oleh Pemda dan pemerintah
pusat hanya saja belum terprogram dan terimplementasi secara terpadu. Ditambah
lagi selama ini persoalan keterisolasian Perbatasan sering jadi kendala.
Logikanya? Bagaimana mau membangun? Kalau sarana ke lokasi tersebut belum ada,
atau lokasinya belum bisa didatangai. Disamping persoalan laten, yakni masih
adanya tumpang tindih kepentingan kementerian/lembaga terkait yang menangani
wilayah perbatasan. Terus terang itu zaman dahulu? Sekarang kan sudah sangat
berbeda?
Pemerintahan
Jokowi-JK telah membuka isolasi perbatasan. Tidak tanggung-tanggung.
Jalan parallel perbatasan yang selama ini hanya impian, langsung
diwujudkan. 9 Pos Lintas Batas PLBN di bangun kembali dengan megah, dan
membanggakan. Tol Luat dan Tol Udara di bangun, sasarannya jelas membuka
isolasi wilayah perbatasan secara total dengan biaya logistik yang dibantu oleh
pemerintah Pusat.
Disamping
pembangunan infrastruktur perbatasan, pemerintah Jokowi-JK juga memperhatikan
kehidupan masyarakat Desa, yakni dengan pola pembangunan Desa lewat
pemberdayaan Desa, yakni dengan mengalokasikan anggaran pembangunan bagi
pedesaan, suatu langkah nyata yang belum pernah ada sebelumnya. Desa kini
menjadi lebih kuat setelah pemerintah juga memberikan Dana Desa lewat dengan
memberikan instrumen “dana transfer” ke desa, yang disebut dana desa (DD). Desa
yang telah memiliki otoritas menjadi lebih bertenaga karena bisa mengelola
anggaran sendiri (anggaran pendapatan dan belanja desa/APBDesa) dengan salah
satu sumbernya dari DD (di samping enam sumber lain). Dana Desa pemerintah yang
diberikan ke Desa jumlahnya juga luar biasa. Pada 2015 total DD Rp 20,7 triliun
(dibagi ke 74.093 desa); 2016 sebanyak Rp 46,9 triliun (dibagi ke 74.754 desa);
dan pada 2017 ini akan disalurkan Rp 60 triliun (dibagi ke 74.910 desa).
Penyerapan DD tergolong fantastis. Tahun pertama terserap 82,72 persen dan
tahun kedua 97,65 persen, di tengah situasi regulasi yang belum terlalu mapan,
sosialisasi yang dikendalai waktu, dan persebaran desa yang sedemikian luas.
Presiden meminta untuk usaha
mikro, usaha kecil, usaha menengah diberikan peluang terus untuk berproduksi
terutama di sektor pertanian, di sektor-sektor industri rumah tangga serta
warung-warung tradisional, dan sektor makanan dengan protokol kesehatan yang
ketat,” pesan Presiden Jokowi melalui telekonferensi, Rabu 15/4/2020. Menteri
PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan langkah Kementerian PUPR dalam memberikan
peluang sektor UMKM untuk berproduksi melalui penyediaan fasilitas ruang usaha
di Rest Area Jalan Tol, Pos Lintas Batas Negara (PLBN), Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional (KSPN) serta Pembangunan/ Rehabilitasi Pasar.
Penyediaan fasilitas UMKM
pada rest area/Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) dilaksanakan di sepanjang
Jalan Tol di Pulau Jawa (46 Tipe A, 23 TIP Tipe B, dan 26 TIP Tipe C) dan Jalan
Tol Trans Sumatera (31 TIP), termasuk upaya mengembangkan TIP yang terhubung
dengan kegiatan ekonomi di sekitar jalan tol. Salah satu contoh di rest area KM
429 B ruas Semarang-Solo, dimana 11 tenant merupakan UMK kuliner dengan brand
dan produk lokal yang sudah memiliki beberapa cabang di Indonesia.
Penyediaan fasilitas UMKM
juga diberikan melalui pengembangan sarana dan prasarana untuk mendukung
kegiatan sosial-ekonomi di kawasan PLBN seperti pembangunan kios/lapak pasar
pada 7 PLBN yang telah dibangun yakni PLBN Entikong, Aruk, Badau di Kalimantan
Barat. Kemudian Motaain, Motamasin, dan Wini di Nusa Tenggara Timur serta Skouw
di Papua.
Sebagai contoh, Kementerian
PUPR melalui Ditjen Cipta Karya pada periode 2019-2020 mengalokasikan anggaran
Rp 117,5 miliar untuk melanjutkan pengembangan sarana dan prasarana penujang
(Zona Sub Inti) PLBN Skouw, termasuk pembangunan area komersial dan pasar
sebanyak 304 kios di atas lahan seluas 3.600 m2. Desain pasar terdiri dari kios
basah, kios kering serta kios terbuka yang tidak memakai atap penutup berjumlah
50 kios. Saat ini seluruh progres fisik Zona Sub Inti mencapai 80,45%.
Dari segi kerja sama regional maka BNPP sejatinya
diharapkan jadi fasilitator dalam mempererat para petugas atau pejabat di
lingkungan perbatasan dengan negera tetangga. Demikian pula ke dalam, ke Pemda
di wilayah perbatasan agar secara sinergis menetapkan lokasi-lokasi destinasi
wisata yang bisa jadi Ikon perbatasan. Sebab bagaimanapun sederhananya ekonomi
perbatasan yang akan dikembangkan sudah barang tentu dia harus didukung oleh
para pelaksana lapangan. BNPP, Kemdagri dan Kemlu serta Pemda perbatasan
terkait bisa sinergis untuk memuluskan kerja sama dalam mengoptimalkan
pemberdayaan ekonomi perbatasan. Konsep pengembangan ekonomi perba tasan memang
menekankan hal seperti itu, yakni memanfaatkan potensi masing-masing wilayah
untuk bisa memberikan kontribusi terbaik.
Seiring dengan berlakunya perdagangan bebas ASEAN
serta kesepakatan kerjasama ekonomi regional maupun bilateral, maka peluang
ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka
dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Kerjasama sub-regional seperti AFTA (Asean
Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT
(Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia,
Malaysia, Philipina-East Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia
Development Area) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga dengan jalan
memberikan tempat yang pas di perbatasan serta dapat memberikan keuntungan bagi
kedua belah pihak secara seimbang.
Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi
internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai
kebijakan serta program pembangunan yang
nyata, menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari
negara-negara tetangga yang menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama
di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagi
masyarakat dan pemerintah. Sarana dan
prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama
bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini
tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar, oleh karena itu diperlukan
penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Terkait dengan pengamanan
wilayah perbatasan, baik laut maupun darat, masih menjadi permasalahan yang
belum dapat terselesaikan secara tuntas. Secara geografis, wilayah kedaulatan
NKRI merupakan kawasan yang cukup strategis dan merupakan Negara Besar yang
berbatasan langsung dengan tiga Negara untuk batas negara darat, 10 negara
untuk batas negara laut, memiliki 3.151 KM panjang perbatasan Darat. Untuk
batas laut wilayah Indonesia memiliki panjang garis pantai ± 99.093 KM dan
berbatas laut teritorial dengan empat negara yaitu Malaysia, Republic
Democratic Timor Leste (RDTL), Papua New Guinea (PNG) dan Singapura. Sedangkan
secara Yuridiksi batas laut Indonesai berbatasan dengan sepuluh negara yaitu
India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Palau, RDTL, PNG dan Australia.
Rasio Pengamanan Batas Darat
Wilayah Perbatasan Negara saat ini masih belum maksimal dibandingkan Panjang
wilayah perbatasan NKRI, yakni 3.151 KM untuk wilayah Darat dan 99.093 KM
panjang Garis Pantai. Dari data yang
disampaikan oleh Satgas OPS. PAMTAS Yonif Raider 641/BRU tahun 2019, di
perbatasan RI-Malaysia di wilayah Kalimantan Barat terdapat 60 titik
perlintasan ilegal[2]
Dengan kondisi sarana prasana
di perbatasan yang masih terbatas serta jumlah petugas dan aparat pengamanan
yang jauh dari memadai, ditambah lagi dengan tingkat ekonomi dan pendidikan
masyarakat kawasan perbatasan yang masih rendah, sangat berkontribusi besar
pada maraknya tindakan perlintasan secara ilegal termasuk didalamnya adalah
tindak kejahatan transnasional. Untuk itu, pengelolaan pengamanan perbatasan
perlu menerapkan sistem SMART BORDER yang terbagi atas soft border dan hard
border. Penerapan softborder[3] saat
ini telah di lakukan di 7 (tujuh) Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu yang
menerapkan pola keterpaduan pengawasan dan pelayanan lintas batas negara dalam
satu manajemen pengelolaan Pos Lintas Batas Negara Terpadu yang dikoordinir
oleh BNPP. “Dengan Keterpaduan palaksanaan pemeriksaan dan layanan lintas batas
negara yang dikoordinasikan oleh Unit Pengelola PLBN, mampu menghadirkan rasa
aman, nyaman dan ramah investasi bagi pelintas maupun pelaku usaha khususnya di
kawasan Perbatasan negara,” pungkasnya.
Menteri Tito menambahkan
penerapan softborder ini juga akan terus dikembangkan seiring dengan di
bangunnya kembali 11 PLBN sebagaimana amanat dari Inpres Nomor 1 Tahun 2019
tentang Percepatan Pembangunan 11 PLBN dan Sarana Prasarana Penunjang di
Perbatasan yang ditargetkan pembangunannya selesai pada akhir tahun 2021.
Sementara untuk penerapan hardborder di batas wilayah negara akan disinergikan
dengan kegiatan Pos Pamtas yang ada saat ini, terdapat 113 Pos Pamtas di
wilayah Kalimantan, 41 Pos Pamtas di Wilayah NTT dan 101 Pos Pamtas di Wilayah
Papua serta 75 Pos Pengamanan di Wilayah Laut teritorial NKRI.
Pertahanan dan
pengamanan wilayah perbatasan. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
sistem pertahanan nasional, sehingga gelar pasukanTNI ( darat,laut dan udara,
yang tercakup dalam Kogab wilhan, komando kewilayahan, Armabar,Armatim dan
Koops I dan II) dalam gelar pasukannya telah menjadikan wilayah perbatasan dan
pulau-pulau kecil terluar (PPKT) sebagai bagian NKRI dan berada dalam sistem
pertahanan Trimatra tersebut.
Untuk
perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan misalnya, ketika perbatasan masih
terisolasi Kementerian Pertahanan berencana untuk melengkapi system
pemindaiannya dengan pesawat “drone” atau tanpa awak, bahkan meliputi kepulauan
Natuna pula. Termasuk juga penempatan 12 stasiun Radar. Demikian pula
terkait pemindahan pasukan atau tepatnya penempatan pasukan di
daerah-daerah perbatasan tersebut. Pangkalan TNI Angkatan Laut Nunukan pada
bulan juli2017, mendapatkan Kapal Angkatan Laut (KAL) namanya Ambalat 1-13-45,
bersamaan dengan empat daerah lainnya di bagian timur Indonesia masing-masing
Pangkalan TNI Angkatan Laut Kepulauan Aru, Pangkalan TNI Angkatan Laut
Sangalaki, Pangkalan TNI Angkatan Laut Melongwane dan Pangkalan TNI Angkatan
Laut Tahuna. KAL Ambalat 1-13-45 buatan dalam negeri oleh PT Tesco Indo Maritim
dengan spesifikasi panjang 28m, lebar 5,8 m dengan senjata berat mitraliur 20mm
dan 12,7mm terpasang di bagian depan dan belakang kapal.
Kita bersukur,
karena kegiatan illegal fishing telah memberikan kesadaran baru bagi TNI untuk
segera memperkuat system pertahanannya di wilayah Natuna. Lanud Ranai akan di
tingkatkan tipenya dari C ke B. Natuna akan dibuat layaknya KAPAL INDUK . Jadi
basis militer AL, dan AU, ujar Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan
Keamanan Luhut Pandjaitan, 23 Maret 2016 yang lalu. Menjadikan Natuna bagai
Kapal Induk, jadi pusat pengendali lalu lintas udara di wilayah itu, punya
superior terhadap serangan udara lawan, sebagai bunker logistik dan amunisi,
untuk mensuplai perbekalan bagi pesawat-pesawat tempur TNI AU yang berpatroli
di sekitar perairan tersebut.
Demikian juga
dengan TNI Angkatan Udara yang akan menyiagakan empat unit pasukan khusus Korps
Pasukan Khas (PASKHAS), di Pulau Natuna Besar. Pasukan ini dilengkapi dengan
sistem rudal pertahanan udara Oerlikon Skyshield buatan Rheinmetall. Sistem
rudal Oerlikon Skyshield merupakan sistem pertahanan udara modular termasuk
meriam multirole otomatis 35 mm yang dapat menembak jatuh pesawat. Saat
ini baru pangkalan TNI AU Supadio, Halim Perdanakusuma, dan pangkalan udara
Hasanuddin, yang sudah menggunakan sistem persenjataan ini. Tapi bagaimana
realisasinya? Masih sangat tergantung kemampuan anggaran pemerintah.
Pembangunan hanggar tambahan baru akan disiapkan untuk menampung delapan
pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur itu mencakup Tempur Su-27, Su-30, F -16 yang
hendak dibeli, dan fasilitas skuadron kendaraan udara tak berawak (UAV).
Rencananya (
sejak tahun 2012) akan ada tambahan 1 batalion Infantri dari Bukit Barisan.
Markas batalion tersebut berada di daerah Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur
dengan nama Batalion Infanteri 135. Saat ini di sana baru ada dua Kompi C dan D
dari Batalyon 134/Raider (Batam). Untuk membangun markas dan sarananya
memerlukan anggaran dan waktu. Begitu juga dengan rencana untuk menyiagakan 4
helikopter AH-64E Apache di Natuna tentu perlu infrastruktur. Dalam darurat
tentu bisa saja memanfaatkan Bivak dan bersifat mobile. Tetapi untuk
mengoperasikan Heli sekelas Apache memerlukan sarana khusus dan itu perlu
dipersiapkan. Kini satuan TNI Terintegrasi telah hadir di Natuna, Kepulauan Riau,
dan telah diresmikan. Pembangunan kekuatan ini menunjukkan respons TNI terhadap
perkembangan geopolitik di kawasan, terutama eskalasi di Laut China Selatan.
Komando Tri Matra yang menggabungkan satuan matra darat, laut, dan udara ini
adalah bentuk pembangunan kekuatan TNI agar bisa memberikan daya tangkal
terhadap ancaman di perbatasan.
Dihadapkan dengan beratnya medan di sekitar
wilayah perbatasan Idealnya Kodam Perbatasan diperkuat dengan satuan Mobilitas
Udara (Mobud) yang mampu melakukan patroli udara di sepanjang perbatasan dan
juga punya kemampuan untuk memproyeksikan kekuatannya ke DUA TROUBLE SPOTS
berbeda di wilayah perbatasan. Kodam secara fakta belum punya kemam puan untuk
melakukan patroli udara di sepanjang perbatasan dan juga belum punya kemampuan
untuk memproyeksikan kekuatannya ke dua trouble spots di wilayah perbatasan
pada saat yang bersamaan meski sebatas setingkat regu. Demikian juga untuk
perimba ngan kekuatan relative dengan negara tetangga, semestinya perlu juga di
“gelar” kekuatan pertahanan berupa Meriam batas atau meriam pantai 155 atau
yang setara khususnya untuk daerah daerah sekitar kota-kota perbatasan yang saling berdekatan
dengan Kota-kota negara tetangga. Begitu juga dengan satuan Tank, perlu adanya
kekuatan semacam itu di Kalimantan.
Untuk kepentingan pertahanan territorial dan
sekaligus untuk menjaga keseimbangan kekuatan pertahanan relative dengan negara
tetangga serta untuk menggerakkan perekonomian wilayah perbatasan perlu adanya
penambahan dan pergeseran kekuatan di Kalimantan; khususnya gelar meriam
perbatasan 155; penambahan satuan Tank; penambahan daya dukung bandara
Nunukan-Malinau-dan Tarakan hingga punya Runway 2650 meter untuk bisa
memfasilitasi kepentingan pesawat tempur. Pembangunan satu Brigade Inf di Kalimantan
Utara dan perkuatan Lanal serta Lanud Tarakan dirasa sangat mendesak khususnya
mengimbangi pihak tetangga yang menjadikan Sabah sebagai Armada Timur
negaranya.
Selain matra darat di Kalimantan juga terdapat
satuan dari Matra lainnya yaitu dari TNI-AL dan TNI AU. TNI AL terdiri dari
Lanal Balikpapan, Tarakan, Pulau Laut dan Banjarmasin yang tergabung dalam
Armatim, sedangkan Lanal Pontianak tergabung dalam Armabar. TNI AU terdiri dari
5 Pangkalan dan 2 satuan Radar yaitu Lanud Balikpapan, Banjarmasin, Pangkalan
Bun, 2 Satuan Radar Balikpapan dan Tarakan yaitu dibawah kendali Koops AU–II
sedangkan Lanud Pontianak dan Singkawang II yang berada di Sanggau Ledo di
bawah kendali Koops AU-I. Gelar satuan Non Organik di tiap propinsi, gelar
kekuatannya juga tidak diurai dalam tulisan ini.
Yang ingin kita katakan adalah perlunya gelar
kekuatan yang berfungsi dengan baik di perbatasan. Jadi jangalah gelar pasukan
yang dibuat itu hanya sekedarnya saja atau daripada tidak ada sama sekali.
Intinya perbatasan itu dapat termonitor dengan baik, sehingga kalau ada
kekuatan lain yang melakukan penyusupan bisa dicegah dan selanjutnya semua
mengerti bahwa perbatasan itu terjaga dengan baik dan punya kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang perlu dilakukan. Coba kita bayangkan, sekarang ini ada
sejumlah pos-pos TNI di perbatasan, yang secara teoritis sesungguhnya tidak
bisa berbuat banyak, karena mereka tidak diperlengkapi dengan sarana yang
semestinya.
[1]
https://www.kapernews.com/2020/03/12/bnpp-gelar-rakornas-pengamanan-perbatasan-negara-tahun-2020/
[2]
Hal itu dikatakan Oleh Menteri Tito dalam sambutannya pada acara Rapat
Koordinasi Nasional Pengamanan Perbatasan Negara (Rakornas Pamtas) Tahun 2020
di Hotel Pullman Central Park Podomoro City, Jakarta Barat, Rabu (11/3/2020).
[3]
https://indonews.id/artikel/27981/Menteri-Tito-Perlu-Sistem-Smart-Border-dalam-Pengelolaan-Pengamanan-Perbatasan/
Sumber : https://www.bukuperbatasan.com/pengamanan-pertahanan-di-perbatasan/
No comments:
Post a Comment