Rumah Sakit Terapung
Doctor Share, Ideal Untuk Pulau-Pulau Terluar Perbatasan
Oleh : Myrna Ratna[1]
Dari koceknya, ia
mewujudkan mimpi yang muskil, membangun rumah sakit apung. Kemudian berlayarlah
Lie Dharmawan mengunjungi pulau-pulau kecil di Nusantara, mengobati ribuan
warga miskin yang tak memiliki akses pada pelayanan medis. Di usianya yang
sudah 67 tahun, dokter ahli bedah Lie A Dharmawan, PhD terlihat lebih muda.
Bicaranya cepat, terstruktur, khas orang-orang yang tidak mau membuang waktu.
Waktu memang bergulir cepat bagi Lie yang sehari-harinya dililit jadwal kerja
yang padat. Siang itu ia bersama tim Dokter Peduli baru saja menyelesaikan
pelayanan medis rutin di tempat pembuangan sampah di Semper, Cilincing, Jakarta
Utara. Selain pengobatan, mereka juga memberikan penyuluhan hidup sehat dan
bersih kepada keluarga pemulung. ”Mereka itu hidup dari sampah. Air yang ada di
sekeliling mereka sangat tidak sehat. Dari empat sumur yang kami periksa,
semuanya mengandung dua bakteri pembunuh, E Coli dan Pseudomonas,” kata Lie.
Hidup Lie memang
sepenuhnya untuk pengabdian. Semangat ini pula yang mendorongnya mewujudkan
sebuah rencana ”gila”, yaitu membuat rumah sakit apung (floating hospital)
pertama di Indonesia. Semua orang mencibir dan menyebutnya ”edan” ketika ide
itu dimunculkan tahun 2009. Tetapi, ia pantang mundur. Ia sangat yakin,
masyarakat tertinggal di Indonesia akan lebih mudah memperoleh akses pelayanan
kesehatan dengan menggunakan kapal yang bisa masuk ke pulau-pulau kecil. Kapal
yang tahan gelombang dan mampu menyelenggarakan operasi sambil berjalan. Gila
memang, tapi tak mustahil.
Pada Maret 2013,
impiannya terwujud. Rumah sakit apung itu berhasil dibangun di atas kapal
phinisi dengan luas 23,5 x 6,55 meter. Awalnya, kapal bekas yang terbuat dari
kayu ulin itu, ia beli dengan harga Rp 600 juta. Biayanya dari menjual rumah.
Kapal itu kemudian dimodifikasi menjadi dua tingkat dengan ruang operasi
ditempatkan di lambung kapal. ”Kapal ini nilainya sekarang sudah lebih dari Rp
3 miliar. Kami memiliki fasilitas kamar bedah dengan segala peralatan memadai,
ruang rontgen, EKG, USG, laboratorium, tempat untuk merawat delapan pasien
sekaligus. Saya dibantu sponsor,” kata Lie, yang aktif terlibat dalam
kegiatan-kegiatan Lions Club.
Bangga Indonesia Pelayaran perdana
dilakukan ke Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Setelah itu, kapal pun melaju ke
Manggar, Belitung Timur; Ketapang, Kalimantan Barat; dan September lalu merapat
ke Bali, Labuhan Bajo (Flores Barat), dan Pulau Kei di Maluku. ”Sampai hari ini
total kami sudah melaksanakan 178 operasi, mulai dari hernia sampai tumor, dan
ada sekitar 2.000 warga yang sudah kami obati,” kata Lie.
Kenapa rumah sakit
apung? Di tahun 2012,
Indonesia itu membutuhkan 160.000 tempat tidur, yang tersedia baru 60.000. Untuk
membangun kamar atau rumah sakit, tidak masalah, tapi software-nya bagaimana?
Bagaimana menghasilkan dokter? Intinya kita kekurangan tenaga dokter.
Distribusi juga tidak merata. Saya ingin kita ini bangga menjadi Indonesia.
Kalau kita bangga, mari kita lakukan apa yang bisa dilakukan, saya tidak mau
mengulang kata Kennedy, bagi bangsa dan negara ini, agar kita dapat menegakkan
kepala. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Jangan cuma
korupsi kita yang dilihat oleh dunia.
Bagaimana kebanggaan
menjadi Indonesia itu diterjemahkan lewat perahu? (Lie terdiam sejenak,
matanya berkaca-kaca).
Itu terjadi pada Maret
2009 ketika saya melakukan operasi di Pulau Kei, Maluku. Pada hari terakhir,
datang seorang ibu membawa anak perempuannya yang sangat kesakitan usia 9
tahun. Untuk sampai ke tempat saya, mereka harus berlayar tiga hari dua malam.
Anak ini menderita hernia incarserata, usus terjepit. Secara teori kedokteran,
anak ini harus ditolong dalam 6-8 jam, sedangkan perjalanannya sudah lebih dari
dua hari. Bonyoklah itu usus.
Saya lakukan bedah,
dan anak ini sehat, sembuh. Ini bukan kepandaianku, tapi ada kuasa
supranatural. Saya selalu berdoa, kadang saya berdialog dalam doa saya. Di situ
gambaran anak ini terbayang lagi dan seolah ada suara yang mengatakan: ”Maukah
kau melayani-Ku?” Tentu ini pengalaman sangat pribadi. Saya tolak. Saya sudah terlalu
capai. Saya sudah melayani-Mu dua puluhan tahun. Saya sudah banyak menolong
orang miskin. Segala kesombongan dan kecongkakan saya keluar. Pokoknya saya
enggak mau. Tapi, bayangan anak itu datang dan datang lagi. Sampai suatu malam,
dengan berurai air mata saya mengatakan, Tuhan saya mau. Saya sadar bahwa ini
akan berimplikasi sangat luar biasa, akan begitu banyak beban bagi saya.
Pengorbanan waktu, uang, perasaan. Dan ini terjadi.
Seberapa sulit
melakukan bedah di atas kapal?
Banyak pihak yang mengatakan
enggak mungkin kamu melakukan operasi bedah di kapal yang begitu kecil. Saya
mencoba operasi di atas kapal pertama kali pada Maret 2013, kapalnya ditambat
dulu. Eh bisa. Lalu kami berlayar ke Belitung, kapal diparkir di tengah laut
nggak pake ditambat, saya lakukan operasi besar. Bisa. Nah, ketika ke Pulau
Komodo, saya melakukan operasi sambil kapalnya jalan. Lihatlah oleh dunia
sekarang. Semangat Indonesia mengalahkan segala kesulitan yang kita hadapi.
Kapal Floating
Hospital, Ideal Buat Negara Kepulauan
Kapal Floating
Hospital ini memang lahir dari semangat pengabdian. Untuk membangun kapal
tersebut, Lie bekerja secara total termasuk menjual sebuah rsteraprumahnya.Pembangunan nya dilakukan
dengan memodifikasi kapal nelayan, dimodifikasi menjadi kapal yang di dalamnya
terdapat fasilitas-fasilitas medis. Menurut Lie gagasan pembuatan RS terapung
ini muncul pada 28 Maret 2009. Lie mengaku membutuhkan waktu lama untuk
menuntaskan pengerjaan RS terapung itu karena sama sekali tidak ada contoh RS
serupa. “Yang ada di Indonesia kan RS terapung milik tentara yang sudah terpola
secara jelas”katanya waktu itu.
Awalnya, selain buta
soal spesifikasi kapal, Lie dan timnya sulit menemukan jenis kapal yang sesuai
untuk dimodif jadi rumah sakit. Tadinya, mereka ingin menggunakan kapal jenis
tongkang dengan pertimbangan memiliki badan lebar. Tetapi, ternyata kurang
layak. Kemudian mereka menjajaki untuk menggunakan kapal berbahan fiber. Namun,
dipercaya perahu fiber gampang pecah ketika menabrak karang. “Akhirnya, mereka
memutuskan menggunakan perahu nelayan buatan Palembang. Meski sederhana, tetapi
mereka percaya kapal ini lebih memadai untuk keperluan rumah sakit.
Kapal ini berukuran
panjang 23,5 meter dan lebar 6,55 meter
terbagi dalam tiga dek. Dek atas menjadi ruang nakhoda serta tempat
berinteraksi santai para relawan. Dek tengah merupakan dek utama. Di sinilah
ruangan Operasi itu berada. Salah satunya terdapat ruang bedah (operasi). Meja
operasinya berupa tempat tidur dorong, lengkap dengan penerangan di atasnya dan
seperangkat alat bedah. Di sebelah ruang operasi ada ruang pemulihan pasca
operasi, lengkap dengan berbagai peralatan medis pendukungnya.
Sementara itu, dek
bawah merupakan ruang pemeriksaan USG dan rontgen. Karena itu, meski relatif
sederhana, kapal tersebut sudah pantas disebut RS terapung.Selain
ruangan-ruangan itu, Floating Hospital dilengkapi delapan tempat tidur untuk
pasien, ruang periksa, laboratorium sederhana, dan ruang arsip. Ada pula kamar
dokter, kamar perawat, kamar karyawan, ruang diskusi, dapur, dan tentunya kamar
mandi. Hanya saja kapal ini berkecepatan baru bisa 6 knot, jadi memang
tergolong sangat lamban.
rsterapungUntuk
membangun kapal tersebut, Lie bekerja secara total termasuk menjual sebuah
rumahnya. Lie menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk merenovasi dan
mengisi perlengkapan medis Floating Hospital. Namun, biaya itu separo lebih
murah dari anggaran yang diperkirakan sekitar Rp 6 miliar. Mereka bisa menekan
biaya pengadaan karena banyak perlengkapan medis yang mereka dapatkan dengan
diskon khusus.
Berobat di RS Floating
Hospital sama sekali tidak dipungut biaya. RS ini memang Dr Lie tujukan untuk
misi kemanusiaan. Karena itu salah satu
yang akan diupayakan adalah meminta dukungan dari para donatur. Sementara ini
Lie menggunakan dana lewat keuntungan kliniknya yang beroperasi di Jakarta. Dia
juga sedang menjajaki kerja sama dengan sejumlah daerah agar turut mendanai RS
tersebut lewat program jamkesmas atau jamkesda.
Operasi pertama mereka
lakukan pada 16 Maret 2013 di Pulau Panggang, Kapal membutuhkan waktu
perjalanan selama empat setengah jam dari pelabuhan kumuh Muara Baru Jakarta
Utara ke Dermaga timur Pulau Panggang. Di dermaga tersebut, puluhan warga
beserta sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu telah menunggu.
Antara lain, 15 warga yang sudah dijadwalkan untuk menjalani operasi secara
gratis di kapal terapung itu. Semua operasi berjalan lancar, memang sempat ada
dokter volunteer yang pusing karena ruang operasinya bergoyang-goyang. Floating
Hospital mampu menangani berbagai macam operasi mayor. Namun, memang ada
beberapa jenis operasi yang sangat rumit, sehingga mau tidak mau harus
dilakukan di darat. Misalnya, operasi jantung.
Lie bersama tim DOCTOR
SHARE juga sedang menyiapkan rute-rute perjalanan laut kapalnya. Misalnya, ke
Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Bali, Sumba, Flores, dan Kepulauan
Kei. Lie menambahkan, layanan RS terapung mutlak dibutuhkan di Indonesia.
Mengingat, Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyak kawasan di pesisir
pantai yang minim fasilitas kesehatan termasuk pulau-pulau terluar di
perbatasan. “Di DKI saja yang notabene ibu kota negara, layanan kesehatan di
kawasan pesisir jauh dari layak. Ini tentu sangat memprihatinkan.
Mereka yang
terperangkap
Jumlah dokter di
Indonesia sangat minim. Menurut data resmi, dari total jumlah dokter di
Indonesia yang sekitar 80.000 orang, 21 persen ada di Jakarta. Jika ditarik
lebih jauh, 60 persen ada di Pulau Jawa. Sementara penduduk yang harus dilayani
ada sekitar 240 juta orang. Artinya, satu dokter dibutuhkan untuk 3.000 jiwa.
Berdasarkan pengalamannya, Lie melihat, semakin ke timur Indonesia semakin
banyak anak-anak yang terperangkap dalam lingkaran kesulitan. Bukan saja mereka
tak memiliki akses terhadap pelayanan medis, tapi kualitas hidupnya juga sangat
rendah akibat kemiskinan. ”Akan seperti apa masa depan mereka? Generasi seperti
apa yang akan kita dapatkan nanti?” kata Lie.
Itu sebabnya, selain
memberikan pelayanan medis, di sejumlah titik Lie dan tim dokter juga membentuk
panti rawat gizi (therapeutic feeding centre). Mereka merawat anak-anak
kekurangan gizi dengan pengawasan ketat, khususnya asupan makanan.
Apakah kehadiran
puskesmas efektif?
Semua tergantung dari
pelakunya. Kita bikin puskesmas bagus tapi kalau dokternya jarang hadir sama
juga bohong. Kami membuat panti rawat gizi untuk anak-anak yang kekurangan
gizi. Karena kurang gizi, dengan sendirinya daya tahan tubuh mereka drop.
Ketika daya tahan tubuh rendah, segala penyakit familier dengan mereka. Makanan
mereka tidak sehat, alhasil mereka cacingan. Semua anak yang masuk ke panti
gizi kami beri obat cacing, nah cacingnya keluar gede-gede. Kalau ada cacing
apa yang terjadi? Anemi. Statistik menunjukkan, hampir 30 persen balita
Indonesia mengalami anemi. Penyakit menular lainnya, infeksi saluran
pernapasan, juga tuberkulosis.
Di panti rawat gizi,
kami tidak hanya memberi makan. Kalaupun memberi makan, itu dengan formula
untuk menumbuhkembangkan organ otak sesuai dengan usia mereka agar ketika
golden period lima tahun itu tercapai, mereka sudah punya cikal-bakal yang
baik. Kalau sudah lewat lima tahun, dikasih apa pun, mereka akan jadi gemuk,
tapi IQ dan EQ akan tetap jongkok. Padahal, pada generasi penerus inilah kita
gantungkan nasib bangsa dan negara.
Bentuk bantuannya
seperti apa?
Pertolongan yang kami
berikan memang cuma-cuma, tapi bukan dalam bentuk rupiah. Kami biasanya merawat
30-60 hari ada yang sampai 90 hari. Kami secara rutin melakukan inspeksi dari
rumah ke rumah, kalau merekarelapse (kondisinya kembali buruk seperti semula),
dengan senang hati kami katakan datanglah lagi untuk satu atau dua minggu.
Kuncinya adalah kasih
sayang seorang ibu pada anaknya. Kalau anak ini kami temui dengan keadaan
kurang gizi dan buruk gizi, kami minta ibunya ikut hadir. Ibu ini diajarkan
untuk merawat anaknya, termasuk membuat makanan untuk anaknya dengan bimbingan
dokter. Kami tidak merawat anak itu, tapi ibunya yang merawatnya dengan
pengawasan kami. Kalau sudah keluar dari panti, mereka bisa membuat sendiri
makanan di rumah. Saat ini sudah ada 100 anak yang selesai dirawat. Kami harap
para ibu ini bisa memberi contoh kepada tetangganya, menularkan ilmunya,
membuat makanan yang murah tetapi bergizi.
Keras kepala
Lie lahir di sebuah
desa di pesisir selatan Padang, Sumatera Barat, dari sebuah keluarga yang
sangat sederhana. Ada peristiwa yang terekam kuat dalam ingatannya yang
membuatnya sadar bahwa ia ”berbeda”. Suatu hari ketika merasa lapar setelah
seharian bermain, Lie kecil pulang dan mengatakan pada ibunya bahwa ia lapar.
Namun, sang ibu tidak menyuruhnya makan, tetapi hanya diam dan mengeluarkan air
mata. Lie tidak mengerti dan kembali bermain.
Namun, pengalaman
berikutnyalah yang membuatnya tersadar. Suatu ketika ia dipanggil ke depan
kelas untuk bercerita tentang ”cita-cita”. Lie pun dengan lantang mengatakan
bahwa ia bercita-cita menjadi dokter. Seluruh temannya dan juga gurunya
tertawa. Gurunya mengatakan bahwa ia harus sadar bahwa dirinya anak keluarga
miskin. ”Barulah untuk pertama kali saya ngeh kalau saya itu berbeda. Kalau
saya itu orang miskin,” kata Lie.
Tetapi, itu tidak
menyurutkan langkahnya. Mungkin di sinilah awal pembentukan karakter keras
kepalanya. ”Sejak saat itu saya setiap hari diam-diam ke gereja dan berdoa
bahwa saya ingin jadi dokter. Saya lakukan setiap hari, selama bertahun-tahun.
Doanya sama, ‘saya ingin jadi dokter’. Saya memang keras kepala,” lanjut Lie,
yang akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan kedokteran S-1 sampai S-3 di
Jerman.
Apa yang diajarkan
oleh orangtua sehingga muncul tekad seperti itu?
Mama pernah berkata
pada saya, kalau kamu suatu saat menjadi dokter, kamu jangan memeras orang
miskin. Mereka akan membayar, tapi ketika pulang mereka akan menangis karena
ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras. Dan, saya ingat
bagaimana ibu saya menangis ketika saya minta makan, dan itu sesuatu yang tidak
bakal saya lupakan seumur hidup saya.
Setelah lama bermukim
di Jerman, apa yang Anda mendorong kembali ke Indonesia?
Saya bekerja di sebuah
rumah sakit universitas yang besar di Jerman. Saya punya jenjang karier yang
baik. Kalau saya tetap di Jerman, saya jadi tenaga pengajar. Ilmu yang saya
peroleh akan diterapkan sebagian besar untuk ilmu kedokteran. Saya satu dari
sekian ratus ribu dokter di sana. Kalau saya pulang, ilmu kedokteran yang saya
pelajari benar-benar bisa diaplikasikan untuk kemanusiaan, terutama untuk
mereka yang membutuhkan pertolongan tapi tidak memiliki akses.
Prinsip yang Anda
tekankan untuk profesi ini?
Kalau kita berprofesi
apa pun, janganlah jadikan profesi itu sebagai senjata untuk merampok. Saya
ahli bedah, saya tidak akan merampok dengan menggunakan pisau operasi saya.
Bahwa saya ketika mengerjakan pekerjaan mendapat imbalan yang setara, itu
adalah hak kita. Tapi kita harus tetap punya idealisme.
Lihat di Indonesia
ini, bukankah gemerincing dollar merupakan ukuran keberhasilan seseorang? Inget
lhodokter, insinyur, farmasis, kita ini hidup ada tujuannya, kita ini hidup
bernegara. Bung Karno pernah mengatakan, kemerdekaan itu politis, seumpama itu
jembatan emas yang sudah dibangun nun di sana di seberang bangunlah istana
gading. Itulah tugas kita. Apakah kita telah sampai di sana? Dulu sewaktu saya
jadi mahasiswa banyak suster dari Taiwan, Korea. Sekarang tak ada lagi Korea
mengirim suster, mereka kirim manajer. Bagaimana dengan kita? Kok kita bangga
mengirim sekian juta TKI yang mengharapkan 100 dollar per bulan?
Konsep kesederhanaan
bagi Anda itu apa?
Saya puas dengan
kehidupan saya, saya tidak mau berlebihan. Saya sudah 26 tahun punya diabetes,
tapi gula darah saya terkontrol baik. Saya punya satu obat, jamu jarak. Jaga
mulut jangan rakus. Mulutmu adalah harimaumu. Istri saya pernah bertanya ketika
kehidupan saya masih belum semapan sekarang, cukupkah uang yang kita berikan
untuk orang-orang? Kalau kurang tambah lagi, kan, kita enggak kelaparan ini.
Setiap bulan sayanombok untuk proyek ini. Saya merasa ini masih bisa membantu
orang, di situlah letaknya. Sering saya kasih contoh: kalian tahu kita setiap
hari bernapas, berapa banyak oksigen yang kalian hirup? Gratis. Coba lihat di
ICU, berapa oksigen yang harus kita bayar? Berapa ongkos yang harus dikeluarkan
untuk narcose itu? Kita seumur hidup bernapas gratis, sudah berapa kita
berutang pada Tuhan?
Masih punya mimpi apa
lagi?
Saya tidak akan
berhenti di rumah sakit apung. Saya ingin membangun rumah sakit tanpa kelas,
low cost hospital. Saya ingin membahagiakan manusia. Saya tidak akan berhenti
berpikir.
Dr Lie A Dharmawan,
PhD, Sp.B, Sp.BTKV
♦ Lahir: Padang, 16 April 1946
♦ Orangtua; Lie Goan Hoey dan Pek Leng
Kiau (Julita Diana)
♦ Istri: Tan Lie Tjhoen (Listijani
Gunawan)
♦ Anak:
– Lie Mei Phing (36)
– Lie Ching Ming (33)
– Lie Mei Sing (21)
♦ Pendidikan:
– S-1 Freie
Universitat, Berlin
– S-2 University
Hospital, Cologne
– S-3 Freie
Universitat, Berlin
♦ Pekerjaan:
– Kepala Bagian Bedah
RS Husada
– Wakil Ketua INTI
(Perhimpunan Indonesia-Tionghoa) DKI Jakarta
– Pendiri Yayasan
Dokter Peduli (doctorSHARE)
– Anggota Lions Club
[1] Sumber Kompas minggu 22 desember 2013 :
dimuat kembali di www.wilayahperbatasan.com
tanggal December 23, 2013