Dec 18, 2025

Perang Rusia–Ukraina- Saat Logika Militer Bertentangan Dengan Logika Politik

 


Oleh Harmen Batubara

Ketika Damai Menjadi Pilihan yang Dipaksakan

Perang Rusia–Ukraina bermula dari dua hal utama: keamanan dan identitas.
Ukraina ingin lepas dari bayang-bayang Rusia dan mendekat ke Barat, bahkan bergabung dengan NATO. Bagi Rusia, itu ancaman langsung di depan pintu rumahnya. Ketegangan memuncak, dan pada Februari 2022, perang pun meletus.

Perang ini cepat berubah menjadi perang panjang dan melelahkan.
Kota-kota hancur, jutaan warga mengungsi, ratusan ribu tentara gugur di kedua pihak. Dunia mendukung Ukraina, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, dengan senjata, dana, dan sanksi terhadap Rusia.

Namun waktu berjalan.
Biaya perang membengkak. Ekonomi global terguncang. Dukungan publik di negara-negara Barat mulai lelah. Di titik inilah muncul skenario pahit bernama “damai dengan syarat.”

Belakangan, berkembang wacana bahwa:

  • Ukraina diminta melepaskan sebagian wilayahnya yang kini dikuasai Rusia.
  • Ukraina juga tidak diterima menjadi anggota NATO.

Sebagai gantinya, Rusia menghentikan perang.

Bagi Amerika Serikat, ini cara mengakhiri perang yang mahal.
Bagi sebagian pemimpin Uni Eropa, ini jalan realistis untuk menghentikan kehancuran.

Namun bagi Ukraina, ini hampir mustahil diterima.

Artinya mereka harus mengakui kehilangan tanah, kedaulatan, dan impian keamanan jangka panjang.
Bagi rakyat Ukraina, itu bukan perdamaian—itu kekalahan yang diwariskan ke generasi berikutnya.

Ironisnya, Uni Eropa sendiri juga terbelah.
Menerima skenario ini berarti mengakui bahwa kekuatan militer bisa mengubah peta negara, sesuatu yang bertentangan dengan nilai Eropa itu sendiri.

Inilah tragedi perang Rusia–Ukraina hari ini:
damai ada di meja perundingan, tapi harganya terlalu mahal untuk diterima.
Dan selama harga itu dianggap tidak adil, perang—meski melelahkan—akan terus berlanjut.

Memahami dinamika perang Rusia-Ukraina memang cukup rumit karena melibatkan kepentingan banyak negara besar. Namun, jika kita sederhanakan, situasinya ibarat sebuah pertaruhan besar tentang kedaulatan dan keamanan masa depan Eropa.

Berikut adalah narasi sederhana mengenai dinamika tersebut berdasarkan skenario yang Anda sebutkan:

Akar Masalah - "Garis Merah" yang Dilanggar

Rusia merasa terancam jika Ukraina bergabung dengan NATO (aliansi militer Barat), karena itu berarti militer Barat berada tepat di depan pintu rumah mereka. Di sisi lain, Ukraina merasa sebagai negara merdeka yang berhak memilih jalannya sendiri, termasuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO demi keamanan mereka dari bayang-bayang Rusia.

Skenario Pahit - Tanah untuk Perdamaian

Belakangan ini, muncul wacana dari beberapa pihak di Amerika Serikat dan sebagian kecil Uni Eropa untuk mengakhiri perang dengan "Jalan Pintas". Syaratnya sangat berat bagi Ukraina:

·                Melepaskan Wilayah: Ukraina diminta mengikhlaskan wilayah yang sudah diduduki Rusia (seperti Krimea dan wilayah Timur).

·                Netralitas Tetap: Ukraina dilarang selamanya menjadi anggota NATO.

Logikanya sederhana namun dingin: "Hentikan perang sekarang, sebelum lebih banyak nyawa melayang dan ekonomi dunia semakin hancur."

Mengapa Ini Menjadi "Sesuatu yang Mustahil"?

Meskipun terdengar seperti solusi cepat, bagi Ukraina dan mayoritas negara Uni Eropa, syarat ini dianggap sebagai pil racun:

·                     Bagi Ukraina: Melepaskan wilayah berarti mengkhianati jutaan warga mereka yang tinggal di sana. Selain itu, tanpa keanggotaan NATO, mereka takut Rusia akan menyerang lagi di masa depan setelah memulihkan kekuatan militernya.

·                     Bagi Uni Eropa: Jika mereka membiarkan Rusia mengambil wilayah Ukraina lewat kekerasan, ini akan menjadi preseden buruk. Negara-negara Eropa lain (seperti Polandia atau negara Baltik) akan merasa terancam bahwa hukum internasional tidak lagi berlaku dan "siapa yang kuat, dia yang menang."

 Ringkasan Dinamika Saat Ini

Pihak

Posisi Utama

Hambatan

Ukraina

Ingin semua wilayah kembali dan jaminan keamanan (NATO).

Kelelahan pasukan dan ketergantungan pada bantuan luar negeri.

Rusia

Ingin pengakuan atas wilayah yang dicaplok dan Ukraina tetap netral.

Sanksi ekonomi berat dan kerugian militer yang besar.

Barat (AS/UE)

Ingin perang usai karena beban ekonomi.

Takut dianggap lemah dan membiarkan agresi menang.


Intinya: Perang ini sekarang berada di titik di mana logika militer (pertempuran di lapangan) berbenturan dengan logika politik (tekanan untuk berdamai). Ukraina merasa jika mereka menyerah sekarang, mereka kehilangan masa depan. Sementara Barat mulai merasa terbebani secara finansial, namun sadar bahwa membiarkan Ukraina kalah adalah ancaman jangka panjang bagi keamanan dunia.

 



No comments:

Post a Comment