Oleh Harmen Batubara
Ketika
Damai Menjadi Pilihan yang Dipaksakan
Perang Rusia–Ukraina bermula dari dua hal utama: keamanan
dan identitas.
Ukraina ingin lepas dari bayang-bayang Rusia dan mendekat ke Barat, bahkan
bergabung dengan NATO. Bagi Rusia, itu ancaman langsung di depan pintu rumahnya.
Ketegangan memuncak, dan pada Februari 2022, perang pun meletus.
Perang ini cepat berubah menjadi perang panjang dan
melelahkan.
Kota-kota hancur, jutaan warga mengungsi, ratusan ribu tentara gugur di kedua
pihak. Dunia mendukung Ukraina, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, dengan
senjata, dana, dan sanksi terhadap Rusia.
Namun waktu berjalan.
Biaya perang membengkak. Ekonomi global terguncang. Dukungan publik di
negara-negara Barat mulai lelah. Di titik inilah muncul skenario pahit
bernama “damai dengan syarat.”
Belakangan, berkembang wacana bahwa:
- Ukraina diminta melepaskan sebagian wilayahnya
yang kini dikuasai Rusia.
- Ukraina juga tidak diterima menjadi anggota NATO.
Sebagai gantinya, Rusia menghentikan perang.
Bagi Amerika Serikat, ini cara mengakhiri perang yang
mahal.
Bagi sebagian pemimpin Uni Eropa, ini jalan realistis untuk menghentikan
kehancuran.
Namun bagi Ukraina, ini hampir mustahil diterima.
Artinya mereka harus mengakui kehilangan tanah, kedaulatan, dan impian keamanan
jangka panjang.
Bagi rakyat Ukraina, itu bukan perdamaian—itu kekalahan yang diwariskan ke
generasi berikutnya.
Ironisnya, Uni Eropa sendiri juga terbelah.
Menerima skenario ini berarti mengakui bahwa kekuatan militer bisa mengubah
peta negara, sesuatu yang bertentangan dengan nilai Eropa itu sendiri.
Inilah tragedi perang Rusia–Ukraina hari ini:
damai ada di meja perundingan, tapi harganya terlalu mahal untuk diterima.
Dan selama harga itu dianggap tidak adil, perang—meski melelahkan—akan terus
berlanjut.
Memahami dinamika perang
Rusia-Ukraina memang cukup rumit karena melibatkan kepentingan banyak negara
besar. Namun, jika kita sederhanakan, situasinya ibarat sebuah pertaruhan besar
tentang kedaulatan dan keamanan masa depan Eropa.
Berikut adalah narasi sederhana
mengenai dinamika tersebut berdasarkan skenario yang Anda sebutkan:
Akar Masalah - "Garis Merah" yang Dilanggar
Rusia merasa terancam jika Ukraina
bergabung dengan NATO (aliansi militer Barat),
karena itu berarti militer Barat berada tepat di depan pintu rumah mereka. Di
sisi lain, Ukraina merasa sebagai negara merdeka yang berhak memilih jalannya
sendiri, termasuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO demi keamanan mereka dari
bayang-bayang Rusia.
Skenario Pahit - Tanah untuk Perdamaian
Belakangan ini, muncul wacana dari
beberapa pihak di Amerika Serikat dan sebagian kecil Uni Eropa untuk mengakhiri
perang dengan "Jalan Pintas". Syaratnya sangat berat bagi
Ukraina:
·
Melepaskan
Wilayah: Ukraina diminta mengikhlaskan
wilayah yang sudah diduduki Rusia (seperti Krimea dan wilayah Timur).
·
Netralitas
Tetap: Ukraina dilarang selamanya menjadi
anggota NATO.
Logikanya sederhana namun dingin: "Hentikan perang sekarang, sebelum lebih banyak nyawa
melayang dan ekonomi dunia semakin hancur."
Mengapa Ini Menjadi "Sesuatu yang Mustahil"?
Meskipun terdengar seperti solusi
cepat, bagi Ukraina dan mayoritas negara Uni Eropa, syarat ini dianggap sebagai
pil racun:
·
Bagi
Ukraina: Melepaskan wilayah berarti
mengkhianati jutaan warga mereka yang tinggal di sana. Selain itu, tanpa
keanggotaan NATO, mereka takut Rusia akan menyerang lagi di masa depan setelah
memulihkan kekuatan militernya.
·
Bagi Uni
Eropa: Jika mereka membiarkan Rusia
mengambil wilayah Ukraina lewat kekerasan, ini akan menjadi preseden buruk.
Negara-negara Eropa lain (seperti Polandia atau negara Baltik) akan merasa
terancam bahwa hukum internasional tidak lagi berlaku dan "siapa yang
kuat, dia yang menang."
|
Pihak |
Posisi Utama |
Hambatan |
|
Ukraina |
Ingin semua wilayah kembali dan
jaminan keamanan (NATO). |
Kelelahan pasukan dan
ketergantungan pada bantuan luar negeri. |
|
Rusia |
Ingin pengakuan atas wilayah yang
dicaplok dan Ukraina tetap netral. |
Sanksi ekonomi berat dan kerugian
militer yang besar. |
|
Barat (AS/UE) |
Ingin perang usai karena beban
ekonomi. |
Takut dianggap lemah dan
membiarkan agresi menang. |
Intinya: Perang ini sekarang berada di titik di mana logika militer (pertempuran di lapangan) berbenturan
dengan logika politik (tekanan untuk berdamai). Ukraina merasa
jika mereka menyerah sekarang, mereka kehilangan masa depan. Sementara Barat
mulai merasa terbebani secara finansial, namun sadar bahwa membiarkan Ukraina
kalah adalah ancaman jangka panjang bagi keamanan dunia.


No comments:
Post a Comment