Apr 3, 2018

Cara Mendirikan Dan Membangun BumDes




Cara Mendirikan Dan Membangun BumDes

BumDes sesuai dengan UU Desa diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian dan kuat secara ekonomi sebagaimana cita-cita pemerintahan. Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sekedar hanya menjadi sub-ordinat kabupaten. Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa. Desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa. Karena itu, warga Desa jelas akan berkeinginan agar Desa mereka bisa bangun, dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan warganya. Dari sisi inilah mengapa hadirnya BumDes di Desa merupakan sesuatu yang “harus”, merupakan tumpuan harapan untuk bisa meningkatkan kehidupan warga Desa.
Kementerian Desa PPDT mempunyai mandat untuk menjalankan NAWACITA Jokowi-JK, khususnya NAWACITA Ketiga yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa. Salah satu agenda besarnya adalah mengawal implementasi UU No 6/2014 tentang Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan. Pendampingan desa itu bukan hanya sekedar menjalankan amanat UU Desa, tetapi juga modalitas penting untuk mengawal perubahan desa untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif. Semua berharap desa inovatif semakin tumbuh berkembang dengan baik, serta dibantu oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal itulah yang membuat BumDes jadi sesuatu yang sangat bermakna.

BumDes sesuai dengan UU Desa diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagaimana cita-cita pemerintahan sekarang ini. Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sekedar hanya menjadi sub-ordinat kabupaten. Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa. Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa. Karena itu, warga Desa jelas akan berkeinginan agar Desa mereka bisa bangun, dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan warganya. Dari sisi inilah mengapa hadirnya BumDes di Desa merupakan sesuatu yang “harus”, merupakan tumpuan harapan untuk bisa meningkatkan kehidupan warga Desa.

Kehadiran Kementerian Desa PPDT mempunyai mandat untuk menjalankan NAWACITA Jokowi-JK, khususnya NAWACITA Ketiga yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa.” Salah satu agenda besarnya adalah mengawal implementasi UU No 6/2014 tentang Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan dengan fasilitasi, supervisi dan pendampingan. Pendampingan desa itu bukan hanya sekedar menjalankan amanat UU Desa, tetapi juga modalitas penting untuk mengawal perubahan desa untuk mewujudkan desa yang mandiri dan inovatif. Semua berharap desa inovatif semakin tumbuh berkembang dengan baik, antara lain karena pendampingan, baik yang dilakukan oleh institusi pemerintah, perguruan tinggi, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Hal itulah yang membuat BumDes jadi sesuatu yang sangat bermakna.



Mendirikan dan Membangun BumDes

Karena itulah saya menuliskan Buku “Mendirikan & Membangun BumDes Sesuai UU Desa”, yang dimulai dengan pendirian BumDes yang sesuai dengan Dasar hukum BUMDes yang dimulai sejak dari awal, dengan Proses Pendirian  Tahapan pembentukan BUM Desa sebagai berikut:
Langkah 1: Identifikasi Potensi Tujuan untuk menelusuri potensi yang dimiliki desa dan potensial untuk dikembangkan.
 Langkah 2: Sosialisasi Pembentukan BUM Desa dengan tujuan dari sosialisasi pembentukan BUM Desa adalah untuk menyamakan persepsi tentang potensi yang dimiliki desa dan tujuan pembentukan BUM Desa.
Langkah 3: Perumusan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) BUM Desa
Langkah 4: Musyawarah Pembentukan Pengelola BUM Desa.
Langkah 5: Penyusunan Peraturan Desa
Langkah 6 : Penyusunan Rencana Kerja Pengelola BUM Desa, yang meliputi :
Menyusun Job Deskripsi (Gambaran Pekerjaan)
Menetapkan Sistem Koordinasi
Menyusun Desain Sistem Informasi
Menyusun Rencana Usaha (Business Plan)
Menyusun Sistem Administrasi dan Pembukuan
Mengurus Legalitas Hukum Unit Usaha BUM Desa.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, dijelaskan bahwa dalam hal kegiatan usaha BUM Desa dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terbitnya UU No. 6 Tahun. 2014 tentang Desa, yang selanjutnya disebut dengan UU Desa, yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Wajah baru desa menjadi harapan mengiringi UU Desa dengan posisi, peran dan kewenangan desa yang baru. Karena pada peraturan perundang-undangan sebelumnya, kewenangan desa hanya bersifat target, dan dengan UU Desa ini kewenangan desa bersifat mandat. Kedudukan desa menjadi pemerintahan masyarakat, hybrid antara self governing community dan local self government, bukan sebagai organisasi pemerintahan yang berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota (local state government). Desa mempunyai posisi dan peran yang lebih berdaulat, posisi dan peran yang sangat besar dan luas dalam mengatur dan mengurus desa. Model pembangunan yang dulunya bersistem Government driven development atau community driven development, sekarang bersistem Village driven development.
Dengan dua azas utama “rekognisi” dan “subdidiaritas” UU Desa mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan azas “desentralisasi” dan “residualitas”. Dengan mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana Desa.
Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas UU Desa menghasilkan definisi desa yang berbeda dengan definisi-definisi sebelumnya. Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Desa tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala desa, melainkan pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya, masyarakat juga mempunyai kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa.  Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi : kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa, kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.

Kewenangan lokal berskala desa haruslah kewenangan yang muncul dari prakarsa masyarakat sesuai dengan kemampuan, kebutuhan dan kondisi lokal desa. Hal itu supaya kewenangan tersebut sejalan dengan kepentingan masyarakat sehingga akan bisa diterima dan dijalankan. Hanya saja, kewenangan yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara langsung ini mempunyai cakupan yang relatif kecil dalam lingkup desa. Apalagi kewenagan yang berkaitan sangat dekat dengan kebutuhan hidup sehari-hari warga desa kurang mempunyai dampak keluar (eksternalitas) dan kebijakan makro yang luas.
Pelaksanaan kewenangan lokal tersebut berkonsekuensi terhadap masuknya program-program pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 UU Desa menegaskan, bahwa kewenangan lokal bukanlah kewenangan pemerintah supra-desa (termasuk kementerian sektoral) melainkan menjadi kewenangan desa. karena selama ini hampir setiap kementerian sektoral memiliki proyek masuk desa yang membawa perencanaan, birokrasi, pendekatan, bantuan dan membangun kelembagaan lokal di ranah desa. Ada desa mandiri energi (ESDM), pengembangan usaha agribisnis perdesaan (pertanian), desa siaga (kesehatan) dan yang lainnya. Dengan UU Desa ini, semua program tersebut  adalah kewenangan lokal berskala desa yang dimandatkan oleh UU Desa untuk diatur dan diurus oleh desa.
Dengan dimikian, pendirian BumDes ini diharapkan bisa mendorong desa untuk berdaulat, mandiri dan berkepribadian sebagaimana cita-cita pemerintahan sekarang ini. Desa berdaulat, merupakan pengejawantahan asas rekognisi dan juga Pasal 5 dalam UU Desa, dimana Desa tidak lagi sub-ordinat kabupaten. Dengan begitu semua pihak harus menghormati desa. Sementara konsepsi desa mandiri merupakan penjabaran dari asas kemandirian. Dimana desa memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemandirian desa ini juga ditopang kewenangan lokal berskala desa.

No comments:

Post a Comment