Kedai Kopi di Perbatasan
Oleh
: Harmen Batubara
Kopi
Mandheling atau Mandailing sudah dikenal orang Eropa dan Amerika sejak ratusan
tahun yang lalu, tepatnya sejak zaman Belanda Tahun 1833. Sebagai warga
Mandailing kita sering bertanya dalam hati. Seperti apa sih Topnya Kopi
Mandheling ini? Hal itu bisa kita lihat dari Perhelatan Specialty Coffee
Association of America[1]
(SCAA) Expo ke-28 di Georgia World
Congress Center, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS), 14-17 April 2016.
Asosiasi kopi spesial terbesar Dunia. Terlebih dalam ajang tahunan tersebut
Indonesia terpilih menjadi PORTRAIT COUNTRY. Portrait country merupakan
penghargaan dari SCAA kepada negara penghasil kopi-kopi terbaik. Dengan menjadi
portrait country, sebuah negara mendapat panggung dan perhatian khusus dalam
ajang yang menjadi barometer industri kopi spesial itu.
"Dunia
sudah lama menikmati kopi-kopi terbaik dari Indonesia. Ini saatnya kami
mengapresiasi Anda. Berterima kasih kepada para petani hingga pelaku industri
di dalamnya," kata Bill Carney, Direktur Eksekutif SCAA. Selain pameran
kopi spesial, SCAA juga menjadi tempat pameran dan transaksi teknologi
pemrosesan dan penyajian kopi terkini. SCAA dihadiri sekitar 12.000 orang dari
lebih kurang 75 negara. Di antara negara-negara itu, nama Indonesia bergaung di
setiap penjuru sejak awal pembukaan, Kamis (14/4/2016) malam.
Pada
seremoni pembukaan, video testimoni orang-orang berpengaruh di dunia kopi
tentang cita rasa kopi Indonesia ditayangkan di depan ribuan peserta. Selain
Erna Knutsen, Presiden Direktur Royal Coffee AS Bob Fulmer juga menuturkan,
Indonesia telah membantu manusia menemukan keindahan cita rasa dari sebuah
tanaman tropis."Dear Indonesia, thank you for your coffee (Indonesia,
terima kasih untuk kopi Anda)," ucapnya.
Dalam
ajang pameran, Indonesia juga mendapat posisi strategis, yaitu tepat di tengah
arena. Mengusung tema besar "Remarkable Indonesia: Home of World's Finest
Coffee", paviliun pameran Indonesia tidak pernah sepi tamu. "Jujur
saja, saya penasaran dengan kopi dari Indonesia. Walau secara bisnis kami
bersaing dengan Indonesia, harus diakui, cita rasa kopi Indonesia begitu kaya
rempah," ujar Jonathan da Silva (38). Pemilik kedai kopi wakil delegasi
Brasil itu asyik bicara soal kopi sambil menyeruput secangkir kopi gayo di
salah satu sudut paviliun Indonesia.
Pada
perhelatan SCAA, Indonesia memamerkan 17 jenis kopi spesial yang telah diuji
oleh Caswell's Coffee, satu-satunya laboratorium kopi di Indonesia yang
bersertifikat standar SCAA. Kopi-kopi itu dihasilkan dari lima pulau di
Indonesia: Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Flores. Ketujuh belas kopi
spesial tersebut antara lain jenis gunung puntang, mekar wangi, manggarai,
malabar honey, atu lintang, toraja sapan, bluemoon organic, gayo organic, java
cibeber, kopi catur washed, dan west java pasundan honey. Selain itu, ada juga
arabica toraja, flores golewa, redelong, preanger weninggalih, flores ende, dan
java temanggung.
Kalau
kita mau melihat bagaimana bisnis Kopi merajai Dunia dan meraup keuntungan dari
Kopi, kita bisa melihat Starbucks. Starbucks Corporation[2]
adalah sebuah perusahaan kopi dan jaringan kedai kopi global asal Amerika
Serikat yang berkantor pusat di Seattle, Washington. Starbucks adalah
perusahaan kedai kopi terbesar di dunia,dengan 20.336 kedai di 61 negara,
termasuk 13.123 di Amerika Serikat, 1.299 di Kanada, 977 di Jepang, 793 di
Britania Raya, 732 di Cina, 473 di Korea Selatan, 363 di Meksiko, 282 di
Taiwan, 204 di Filipina, 164 di Thailand dan 326 di Indonesia. Bisa dibayangkan
berapa keuntungan bisnis yang bisa mereka raih dari usaha Kopi ini. Padahal di
Dunia ini ada jutaan Outlet penjual minuman Kopi. Data Kementerian Perdagangan
RI menyebutkan, pada 2015, nilai ekspor kopi Indonesia ke dunia tercatat
mencapai 1,19 miliar dollar AS atau sekitar Rp 16 triliun. Angka itu meningkat
15,21 persen dibandingkan periode yang sama 2014 sebesar 1,03 miliar dollar AS
atau sekitar Rp 13,9 triliun. Dari seluruh ekspor, AS masih menduduki peringkat
pertama negara tujuan dengan nilai 281,15 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,7
triliun. Setelah AS, negara tujuan ekspor kopi terbesar adalah Jepang, Jerman,
Italia, dan Malaysia. Saat ini, pangsa pasar kopi Indonesia di AS sebesar 5,5
persen atau menempati urutan keenam setelah Brasil, Kolombia, Vietnam, Kanada,
dan Guatemala.
Indonesia
punya tradisi kedai kopi yang luar biasa dan itu ada dimana-mana dan sekarang
para pengusaha muda kita telah dan tampil untuk mengurainya dan itu bisa
dipercaya akan menemukan pola dan alur bisnis keberhasilannya. Mana tahu,
kedai-kedai Kopi seperti ini perlu juga di hadirkan di wilayah-wilayah
perbatasan. Khususnya kini setelah jalan-jalan sudah terbuka di sepanjang
perbatasan. Harapan kita minimal memperlihatkan wajah asli Kopi Indonesia
dengan aroma kopinya sebagai kopi terbaik dan termahal di Dunia.
Budaya
kedai Kopi di sekitar kita sungguh sangat menarik. Tahun 90 an ketika
melakukan survei pemetaan ke Pulau Sieumeuleu
(selatan Meulaboh) dan sempat tiga bulan di Sinabang, maka salah satu yang
membuat saya terkesan adalah tradisi kedai Kopinya. Bayangkan kedai Kopi itu
sudah buka sejak sholat subuh selesai atau sekitar jam 05.00 waktu setempat. Di
pagi sesubuh itu anda sudah bisa mendapatkan Kopi hangat dan makanan ringan,
murah meriah dan itu terus berlanjut. Bayangkan sehabis anda sholat subuh dan
mampir di warung Kopi itu. Sembari menyeruput kopi hangat di pagi buta sungguh
sangat menyegarkan. Suatu suasana yang sulit dilupakan.
Di
Pontianaka Kalimantan Barat suasananya beda lagi. Sungai Kapuas pernah sibuk
sebagai jalur transportasi air pada tahun 1960-an. Dari sana lahir tradisi
minum kopi di sekitar Pelabuhan Pontianak, Kalimantan Barat. Tempat rehat
transportasi air itu lalu bersemi jadi penyangga kelas menengah di seluruh
pelosok Kalbar. Minuman kopi—dengan berbagai
variannya—bahkan telah merambah ke kafe-kafe dan hotel-hotel berbintang di
Pontianak. Warung kopi telah bermetamorfosis sebagai etalase sosial dan
penggerak ekonomi masyarakat sekaligus.
Dalam
gaya yang berbeda ternyata kita juga dapat melihat tradisi Warung kopi di
Pontianak. Warung Kopi di sana juga adalah tempat berkumpul hampir semua
kalangan dengan semua ragam karakternya. Riuh pembeli bisa dijumpai di hampir
semua warung kopi di Pontianak, bukan hanya pada pagi atau siang, melainkan
juga malam hingga hari berganti. Pagi
hari, orang datang ke warung kopi sebelum berangkat kerja atau masuk ke kantor.
Siang hari, giliran para pekerja dengan mobilitas tinggi, seperti salesman dan
pebisnis kelas menengah dan bawah yang memenuhi warung kopi. Malam harinya,
orang-orang yang sudah suntuk dengan kesibukan siang hari melepas penat di
warung kopi.
Menurut budayawan
Tionghoa, Lie Sau Fat atau XF Asali, menuturkan, kebiasaan minum kopi yang kini
ada di Pontianak awalnya dibawa oleh sejumlah mantan koki kapal-kapal besar
China ke Kabupaten Sambas, Kalbar. ”Mereka adalah etnis Hainan,” tutur Asali. Asali sudah menjumpai toko kopi di Pemangkat,
Sambas, sekitar tahun 1942. Dari Sambas, kebiasaan warung kopi itu lalu diikuti
oleh masyarakat di pesisir hingga Pontianak. ”Di Pontianak, tradisi minum kopi
makin ramai sejak 1969.”
Namun,
warung kopi juga pernah menjadi lahan prostitusi terselubung di daerah Sungai
Raya, Pontianak, era tahun 1970-an “dan
terkenal juga sebagai Kopi Pangku”. Tahun 1990-an, kawasan prostitusi itu
dibubarkan. Etalase sosial bernama warung
kopi tidak hanya mengukuhkan perubahan sosial yang ada, tetapi juga berfungsi
sebagai penyangga kekuatan sosial ekonomi masyarakat kelas menengah dan bawah
di sana selama beberapa dekade. Apa
jadinya pedalaman Kalbar dan Pontianak tanpa jejaring warung kopi.(Kompas,
Agustinus Handoko,20 Nov 2010)
Warung Kopi di Jakarta
Masih
ingat tulisan kita beberapa waktu lalu? Ya Kedai kopi Anomali di Jakarta misalnya
adalah salah satu fenomena menarik soal kebangkitan kedai kopi lokal di tengah
keriuhan kedai kopi internasional yang mendominasi setiap sudut kota. Pada
tahun keempat sejak berdiri, dengan ketekunan dua anak muda pendirinya, Anomali
kini memiliki empat kedai di Jakarta. Di papan nama Anomali di setiap kedai
diusung tagline: ”Kopi Asli Indonesia”. Di situlah soalnya kemudian. ”Di
Anomali, kopinya lebih fresh karena mereka mengerjakan roasting biji kopi
sendiri di kafenya, kita bisa lihat. Aku selalu beli beans di sana. Apalagi,
kopinya langsung dari petani lokal, it’s nice,” tutur Santi Rivai (37),
desainer grafis yang menggemari kopi sejak duduk di bangku SMA. ”Indonesia
merupakan negara dengan jumlah single origin kopi terbanyak di dunia. Untuk
specialty coffee setidaknya ada delapan single origin di Indonesia,” ucap Agam.
Tekad
mengusung kopi lokal Indonesia bagi Agam dan Irvan bukanlah berangkat dari
sauvinisme, melainkan, di kalangan pencinta kopi dunia, kopi asal Indonesia
memang merupakan salah satu kopi terbaik di dunia saat ini selain Kolombia dan
Brasil. Sebab itu, mereka memutuskan mengeksplorasi total kopi Indonesia
sendiri. Ada soal nasionalisme yang pekat juga di situ.
Kedai
lokal pemain di ranah specialty coffee lainnya yang mengesankan adalah kedai
Kopi Kamu yang berlokasi di Senayan Residence, Jakarta. Kedai yang baru
didirikan pengusaha Rudy J Pesik pada Juni 2010 ini juga dengan kesadaran penuh
mengusung kopi terbaik asal Indonesia. Rudy yang membeli waralaba Camus di
Perancis ini memasarkan produk Kopi Kamu di 1.000 outlet di beberapa negara,
seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura.
Rudy
Pesik yang antara lain mempunyai bisnis di bidang kargo DHL Express itu masuk
bisnis kopi karena merasa tertantang setelah kopi Indonesia dikatakan tidak
enak. Kopi luwak, misalnya, merupakan potensi Indonesia dan telah terbukti
dikenal di kalangan penikmat kopi internasional. ”Kita ini di Nusantara
mempunyai kopi dengan kualitas bagus. Saya tertantang untuk membuktikan bahwa
kopi kita yang terbaik,” kata Rudy.
Kopi Kinta Mani dan Kopi Empat
Lawang
I
Wayan Jamin (50) punya cara menaikkan posisi tawar kopi Kintamani. Di pelosok
Desa Landih, Bangli, hanya beberapa kilometer dari perbukitan Kintamani, Bali,
sejak setahun lalu ia membuka perkebunan kopi luwak. Jamin tidak menangkar
luwak di dalam kandang sebagai ”mesin produksi” kopi, tetapi ia ”meliarkan” 31
ekor luwak di area 80 are perkebunan kopinya. Putu Fajar Arcana
Jamin
mencoba membuat tiruan perkebunan alami, di mana luwak ”seolah-olah” berada di
alam liar. Ia memagari 80 are dari sekitar 2 hektar kebun kopi miliknya. Lalu
di kebun berpagar itu, ia melepas 31 ekor luwak, besar dan usia yang setara.
Pada musim petik buah kopi antara Mei sampai Juli, luwak-luwak akan berloncatan
dari satu pohon ke pohon lain untuk memilih sendiri buah kopi ”terlezat”. Dan
pagi hari, di sela kebun kopi, Jamin bisa mendapatkan antara 3-5 kilogram kopi
luwak basah setiap hari. ”Kami baru memungut kopi-kopi itu pada sore hari agar
lebih kering untuk kemudian dicuci bersih dan dijemur,” katanya.
Selain
memelihara luwak sebagai ”mesin produksi” kopi yang alami, Jamin bersama warga
desa di Subak Sukamaju, Kintamani, kelompok petani kopi, bekerja sama untuk
mengumpulkan kopi luwak liar dari hutan wisata Kintamani seluas 150 hektar.
Untuk satu kilogram kopi luwak liar basah, Jamin membayar Rp 100.000. ”Tetapi
saya hanya memberi pemungutnya Rp 50.000, dan Rp 50.000 lagi disimpan di
kelompok subak,” kata Jamin. Dengan cara itu, anggota subak dan kelompok akan
tumbuh bersama-sama menikmati rezeki yang mengalir dari luwak.
Ceritanya
beda dengan Kopi Empat Lawang. Soal itulah yang kini dihadapi oleh para petani
kopi di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Padahal tanaman kopi di
kabupaten ini sudah ada sejak zaman Belanda dulu. Luasan sebaran kebun kopi,
menurut Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri, di kabupaten ini mencapai
61.978 hektar atau seperempat dari total luas wilayah.
Masalahnya,
sebagian besar petani masih mengolah kopi jenis robusta ini secara tradisional,
hanya menjemur kopi basah di pinggiran jalan. Peluang itu justru dimanfaatkan
oleh daerah seperti Lampung, yang kemudian memasarkan kopi Empat Lawang,
sebagai kopi Lampung. Di sini seolah berlaku pepatah, Empat Lawang punya kopi,
Lampung punya nama. Itulah sebabnya, Budi Antoni bertekad akan membuka kafe
kopi khusus Empat Lawang di Jakarta.
Kopi Lokal Kopi Kebanggaan.
Pusat
Riset Perbatasan Universitas Pertahanan sekarang ini tengah membuat Kajian yang
mengusung Pulau Sebatik jadi Kota Perbatasan. Kota ini nantinya adalah semacam
kota kembarannya Tawau dan menjadi “hub” dan simpul perdagangan yang
mengakomodir potensi pesisir timur Kalimantan Timur mulai dari
Balikpapan-Samarinda-Bontang-Sangata-Tanjung Selor-Tanjung Redep-Tarakan-dan Nunukan
hinga Sebatik. Kota ini nantinya harus terkoneksi dengan Nunukan dan dengan
“maindland”nya Pulau Kalimantan, sehingga dibutuhkan dua jembatan sebagai
simbol perbatasan yakni yang menghubungkan Sebatik-Nunukan dan kemudian
jembatan yang menghubungkan Nunukan-Pulau Kalimantan.
Nah
itu yang intinya, tetapi yang ikutannya adalah bagaimana membuat grai warung
Kopi yang menarik di perbatasan. Kalau saja pantai di sekitar Hotel Perbatasan Di
Sebatik yang sudah ada saat ini di sulap jadi Pusat Rekreasi, yang mampu
menghadirkan “taman pantai” dan “gelanggang renang alami” yang memungkinkan
perenang alam bisa berenang dari Sebatik-ke Tawao dan sebaliknya. Bayangkan
kalau setiap tahunnya bisa dilakukan lomba renang alami Asean atau Dunia di
sana. Kekuatannya adalah pada pengelolaan Pantai yang alami dan kuat. Nah kita
ingin nantinya di sana ada juga “warung kopi perbatasan” yang jadi trade mark
Indonesia sebagai “pemilik Kopi terbaik dan termahal” di Dunia. Memang sekarang
sih masih jauh dari yang diharapkan. Pantainya saja belum terurus, kotor dan
belum berbentuk sama sekali.
Hanya
saja meski bentuk pantainya masih belum ditata tetapi di Pulau Sebatik (
perbatasan RI-Malaysia) ternyata warung Kopinya juga belum muncul. Rasa Kopi
disini lain lagi ceritanya, di pulau itu buah Kopi memang sudah lama dikenal dan
mereka sering menyebutnya sebagai yang enak rasanya. Hanya saja, kopi yang ke
sohor justeru “Kopi Tongkat Ali” nya produk kopi sachet Malaysia. Kopi ini
sudah melegenda sebagai penambah “stamina”, dan mereka mengandonnya dengan cara
atau istilah “kopi tarik”. Cara seduhnya dilakukan dengan dua cangkir yang
seolah saling ditumpahkan dari cangkir yang satu ke cangkir lainnya; jadi
terlihat seperti di tarik. Di sini mereka belum tahu seperti apa “militansi
kedai Kopi di Jakarta” dan juga di tempat-tempat lainnya.
Mereka
juga belum tahu semangat ke”lokal”an juga menapasi Waddaddah, kedai kopi di
Bandung, Jawa Barat, yang fokus mengusung kopi asal Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Yaya, yang asal Bulukumba, mendirikan Waddaddah karena kepincut berat
dengan cita rasa kopi di kampungnya. Menurut Yaya, terjadi demam pertumbuhan
warung kopi di Bulukumba sejak Facebook digandrungi. Pasalnya, warung kopi
penyedia wifi gratis menjadi salah satu faktor penarik pengunjung. Demam ngopi di kedai jadi trend baru di Desanya.
Menurutnya ini agak aneh, sebab, perkebunan kopi telah eksis sejak zaman
Belanda di Sulawesi. Namun kultur
minum kopi di Bulukumba, terlebih di
kedai kopi, menurut Yaya, baru muncul belakangan ini.
Sikap
total serupa juga dilakukan oleh kedai kopi lokal bernama Macehat di Medan,
Sumatera Utara. Kedai kopi yang mengusung kopi lokal arabika khusus asal
Sumatera ini bahkan mengolah sendiri buah kopi yang baru dipanen. Buah kopi itu
kemudian dipilih yang benar-benar berwarna merah. Kopi lalu ditangani melalui
tahap pengolahan yang panjang, mulai dari pengupasan, fermentasi, pencucian,
pengeringan, pendinginan (tampering), pengupasan kulit tanduk, pengeringan
akhir, hingga penyang raian. Pendirinya, Verayani Jioe, meyakini cara demikian
mampu meraih dan menjaga kualitas biji kopi yang premium.
[1] http://print.kompas.com/baca/2016/05/11/Nusantara-Rumah-Kopi-Terbaik-Dunia
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Starbucks
No comments:
Post a Comment